Legi Pait

Andy Wylan
Chapter #2

2. Beban Mustahil

Suasana duka berangsur-angsur pulih selama tujuh hari ke depan, kecuali mbak ipar yang bahunya masih melesak pilu. Papa dan Mama tidak sesedih sebelumnya, atau—dalam pandangan Naraya—semata-mata karena ada problem baru yang mesti dibicarakan bersama Ebes dan Bapak.

“Tapi Mbak udah lega, Nar,” bisik Prita saat menyeduh teh naga di teko keramik. 

“Kenapa, Mbak?” Naraya, di sisinya, mengambil sejumput gula dari toples untuk ditaruh di tiap-tiap cangkir. Tak ada sendok takar. Tabu bagi keluarga Kesumarta untuk menakar Sukara. Tidak sopan, kalau kata Ebes.

Kakaknya menyedot ingus samar. “Masmu udah tenang. Nggak lagi-lagi tertekan dan terganggu barang alus.”

Naraya tidak setuju. Ada kegelisahan tidak jelas yang menghantuinya sejak kematian Prama. Ia masih belum tahu apa itu, tapi satu yang pasti; gagasan bahwa ada keterlibatan makhluk halus membuatnya tidak yakin. Prama sakit berawal dari diabetes yang mengembang menjadi komplikasi gagal ginjal dan seterusnya. 

Dugaan gangguan makhluk halus itu pun sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari Sukara. Gula ajaib. Sejumput yang mampu memaniskan olahan apa pun sesuai dengan kehendak lidah penyecapnya.

“Masa Mbak percaya, sih?” tanya Naraya gusar. “Wong dia yang diserahi Pabrik Sukara. Kalaupun memang makhluk-makhluk halus itu memang ada, mana mungkin mereka mau gangguin yang punya pabrik keramat?”

“Justru itu,” tukas Prita. “Emang, sih, gangguannya enggak datang dari sekitar kita. Aku nggak paham gitu-gituan, Nar, tapi semenjak masmu ditunjuk jadi pimpinan, banyak yang datengin masmu di mimpi. Masmu nggak ada yang kenal sama mereka.”

Naraya mengangkat nampan teko isi ulang dan cangkir-cangkir berisi teh dengan kalut. Pikirannya melayang. Mungkin itu beban pikiran saja. Toh Naraya juga sering memimpikan orang tak dikenal. 

“Masmu curiga itu kiriman saingan kalian,” kata si mbak, entah mengapa menyiratkan bahwa kematian Prama menandakan dia bukan lagi bagian dari Kesumarta. Segera. “Tapi Bapak yang gantiin Mas Pram mimpin pabrik, enggak pernah dapat mimpi aneh-aneh, tuh. Kenapa, ya?”

Entahlah. Walaupun ada tebakan yang muncul di benak, mulutnya kelu untuk menjawab. Naraya pamit dari dapur dengan ujung jari mendingin.

Untuk pertama kalinya selama 26 tahun hidup, Naraya diajak duduk satu meja bersama Ebes, Papa, Mama, dan Bapak. Entah badai harapan apalagi yang akan menimpa.

Atau, begitulah yang diduga, hingga ia mencapai koridor yang memagari bagian dalam rumah dengan teras samping. Samar-samar terdengar Papa menaikkan suara, tetapi tidak cukup tinggi untuk memancing amarah ayahnya.

“Nar itu tidak bisa disetir! Lihat, dari kecil prestasinya beda sendiri. Semua anggota keluarga kita, sampai anak tetangga, adalah lulusan teknik kimia. Cuma dia yang menolak! Paling ogah-ogahan kalau disuruh ikut berbagai program pabrik, padahal dia keluarga pemilik. Trus, mau dadakan dikasih ke Nar? Nggak masuk akal blas!”

Naraya berhenti melangkah di balik pintu teras.

“Itu anakmu sendiri. Mentang-mentang dia dalam asuhan saya, lalu begitu caramu bicara?” Ebes menyahut geram. “Saya yang besarin Nar selama kalian sibuk urusi bisnis-bisnis remeh itu. Taruhan Ebes lebih ngerti putrimu daripada kamu sendiri! Nar harus bisa! Semua Kesumarta pasti bakat!”

“Bisnis remeh? Ini bisnis juga Ebes yang mulai duluan, sebelum dilempar ke saya karena Ebes lebih milih mengurusi pabrik.” Papa meradang.

“Ebes ndak akan urusi pabrik kalau bukan kamu duluan yang menolak!” 

Entah apa yang Papa lakukan, tetapi suara Mama muncul dengan urgensi. “Mas, sudah tho!”

Lihat selengkapnya