Legi Pait

Andy Wylan
Chapter #3

3. PG. Sukara

Ada alasan mengapa Naraya jarang mengunjungi pabrik, jika tidak benar-benar terpaksa, atau untuk pentas seni selamatan giling bertahun-tahun lalu. Aroma blotong menyergap hidungnya kuat manakala Naraya melewati pagar besi yang dibukakan satpam pabrik.

“Jangan tutup hidung, Nar. Ini bau yang mesti akrab sama kamu mulai sekarang.”

“Bukannya Ebes bilang aku cuma perlu bantu Bapak? Perlu apa aku mengunjungi pabrik?” tukas Nar jengkel. 

Ia berpikir bertahan di rumah dinas nomor satu sudah cukup. Lagi pula pabrik yang kecil serta laju produksi yang lambat membuat Ebes berpikir tidak perlu membangun kantor besar-besar. Cukup paviliun seberang halaman depan yang dibangunkan dari bekas pos satpam. Naraya terlanjur membayangkan ia berbagi ruangan dengan Bapak. 

“Lha, berdasarkan apa nanti kamu mau bantu Bapak mikir keputusan ini itu? Ilmu kebatinan?”

Naraya menggerutu pelan. Ia tidak lagi menjepit hidung dengan jari, melainkan menahan napas sebisanya. Kini Ebes menuntunnya melewati daun pintu jati raksasa, terpasang plang PG. Sukara yang mulai berkarat. 

“Minimal kamu tahu ada apa aja di pabrik. Nanti, perkara belajar cara pabrik bekerja dan semacamnya, itu urusan kamu dan Bapak. Yang penting, kamu paham harus berada di mana saat dibutuhkan.”

Naraya menghela napas saat disambut instrumen pipa, tabung, dan mesin yang sama sekali ia tidak kenal. Demi Tuhan, ingin ia berkata kepada Ebes bahwa sejak dulu nilainya dalam pelajaran sains jeblok. Benci dirinya dengan segala hal yang berhubungan akan fisika, kimia, apa pun itu. Hidupnya terpaut lama dengan humaniora. Karat pipa, merah tuas, dan kuning cat teks peringatan bukanlah bagian dari kehidupannya.

“Ini bagian kantor para manajer.” Suara tongkat Ebes pada tangga besi mendahuluinya naik. Naraya menyusul. Tangga itu tepat terletak di sayap kanan pintu masuk, mengarah ke ruangan berlantai ubin putih dan masih berbau asam limbah. “Paling depan, sebelahnya meja resepsionis itu, ruang Manajer TU. Seberangnya Manajer Keuangan. Situ Manajer Taman. Manajer Teknik. Manajer Pabrikasi. Kamu sudah kenal sama para manajer, tho?”

“Kenal,” jawab Naraya di sela menahan napas. Dua tante dan tiga om yang rumahnya juga menempati sederet rumah dinas di sepanjang jalan raya Sukaraji. Walau Naraya hampir tidak pernah ke pabrik, tetapi Ebes rutin menyuruhnya mengantar bingkisan hari raya ke rumah mereka. Alasannya silaturahmi, biar semua kenal putri bungsu Kesumarta.

 Naraya mau tidak mau berpikir bahwa semua ketidaksengajaan itu seolah menjadi cara Tuhan mempersiapkannya menuju titik ini. Bagian dari masa depan yang takkan pernah diramal dan luput dari prediksi siapapun, sebagaimana kematian Prama. 

Ebes melanjutkan perjalanan, menyusuri lorong sempit yang ditiupi angin penat dari kipas angin tergantung di dinding. Ia mengarah pada pintu paling ujung. Kaca hiasnya buram dan tak ada plang nama penanda apa pun.

Ebes mengeluarkan serenceng kunci. Terpantiklah rasa penasaran Naraya. Ia belum pernah memasuki ruangan ini, selain menyerahkan kuncinya kepada Bapak sesaat setelah Prama masuk rumah sakit. 

Mengekori sang kakek, Naraya memasuki ruangan kecil yang dipasangi jendela besar-besar. Akhirnya ia tahu sudut pabrik yang memiliki jendela-jendela raksasa, bagian ruang yang menonjol dari wajah depan pabrik. Selama ini Naraya bertanya-tanya ruang manajer mana yang cukup beruntung untuk menghadap lapangan, melihat gagahnya Ringin Gede, berlatar jalan raya Sukaraji yang teduh dari naungan pohon-pohon sepanjang jalan.

Ndak ada yang boleh masuk sini sembarangan.” Ebes mengangkat tongkat, menunjuk satu-satunya kamera pengawas yang dipasang menghadap pintu. Mengancam Naraya jangan berani-beraninya mengizinkan orang lain masuk. “Hanya orang Kesumarta asli yang boleh masuk sini, termasuk orang-orang yang dia izinkan. Tapi tanggung jawab dipanggul Kesumarta yang kasih izin.” Tegas Ebes. 

Lihat selengkapnya