Legi Pait

Andy Wylan
Chapter #4

4. Bungsu yang Gocik

“Cuma ditunjukin pabrik langsung bilang ndak sanggup. Gocik, anakmu itu. Padahal dia baru tahu secuil aja.” Keluhan kumur-kumur Ebes menikam Naraya sesakit jika diucapkan di depan wajah, padahal ada dinding yang memisahkan mereka. 

Sang kakek duduk bersama kedua orang tua Naraya di serambi samping, sementara gadis itu terpekur di ruang duduk. Ingin hati mengunci diri di kamar lagi, atau kabur sekalian, tetapi tidak setiap hari Papa dan Mama berada di rumah. 

Naraya meremas bantal sofa di pangkuan. 

“Tapi,” imbuh Ebes. “Memang Nar sejak awal ndak pernah kita biasakan dengan pabrik. Pol-polan cuma kita suruh tampil saat selamatan giling, jadi penari pembuka. Ndak salah dia bilang begitu ke Ebes tadi. Tapi ….”

Mengawali dan menutup ucapan dengan penyanggahan hanya membuat suasana hati Naraya makin surut. Tak usah sok maklum jika masih ada tapi-tapi lainnya. 

Selang tak lama kemudian Mama muncul, membiarkan obrolan terus bergulir antara Papa dan Ebes. Naraya tidak sadar pembicaraan mereka kian memelan sementara Mama hadir di sisinya.

“Kamu nggak perlu terlalu tegang. Tadi Ebes hanya mau menunjukkan pabrik ke kamu.” Mama mengusap pundaknya. “Sejauh apa kamu mikirnya, Nduk?”

“Gimana nggak mikir jauh, kalau belum-belum aku sudah diajak bicara soal petani gagal panen dan lain-lain. Males banget, Ma.” 

Gadis itu sebenarnya tahu bila semua bisa diatasi berkala dengan belajar dan terus-menerus menambah pengalaman. Namun bukan itu intinya. Ada berat yang mengganjal hebat di hati. Dorongan yang membuat Naraya makin ingin melontarkan diri ke pulau lain, melintasi samudra, dan melupakan semua.

“Pelan-pelan, Nar. Lagi pula pimpinan pabrik masih Bapak, bukan kamu. Kamu cukup tahu aja.” Mama mencoba menghibur, mengulang kata-kata yang sama diucapkan Ebes. “Karena semua Kesumarta harus paham.”

“Kalau begitu kenapa nggak Papa dan Mama aja? Cuma ngawasin, kan?” Sejujurnya, Naraya merasa malu saat mengatakan ini. Ia tahu betapa sibuk kedua orang tuanya mengurusi rantai usaha restoran, yang disebut-sebut bisnis buangan oleh Ebes. Naraya ingat dirinya pernah ditawari posisi sebagai manajer, tetapi menolaknya. “Setidaknya pengalaman Papa tentang Sukara lebih mendingan daripada aku yang nol bundar ini.”

Alih-alih menjawab, Mama menatap nanar dan meremas jarinya pelan. “Mau gimana lagi, Nduk?” saat ditanya demikian, memerah muka Naraya. Ia mengutuki kebodohannya. “Siapa lagi yang bisa dipercaya kalau bukan kamu? Mama dan Papa sudah penuh pikirannya. Nggak hanya mengurus restoran saja, ada banyak yang ….”

Kala keluhan Mama meluncur otomatis, Naraya ingin menciut lenyap. Hanya permintaan maaf yang terkumpul di lidah. Ke mana dirinya yang selalu memenuhi ekspektasi di kala muda? Di balik punggung Mama, terlihat lemari pajangan yang memuat jajaran piala dan piagam berukir nama Dwi Naraya Kesumarta. Memenangkan berbagai lomba menggambar, yang semula hanya mendongkrak prestasi non-akademis di rapor, ternyata menjadi pilihan yang diseriusi Naraya saat menginjak bangku kuliah. Terpupuklah benih kekecewaan Papa dan Mama ketika tahu bahwa implementasi jurusannya pol-polan bikin desain promosi bisnis, yang tersiram tiap Naraya menolak berbagai tawaran ini dan itu, dan bertumbuh subur ketika Naraya mulai tersandung berbagai kegagalan. 

“Apa kamu mau bantu Mama sebagai gantinya?”

Naraya ingin menangis. Kenapa tak ada pilihan yang lebih baik? Inikah konsekuensi ketika ia tergiur tawaran kebebasan yang sempat diberikan Papa? Bahwa sebaiknya ia kuliah di jurusan teknik kimia saja atau minimal jurusan manajemen? 

Lihat selengkapnya