John duduk pada sofa dengan televisi sebesar empat puluh dua inch menggantung di dinding, matanya menjelajahi dengan seksama dari sudut ke sudut seperti sedang mengamati sesuatu dari layar yang ditampilkan.
Ia melihat Jane terbangun dari tidurnya dan terdiam sejenak dipinggiran kasur dengan mata setengah terpejam, lalu dia turun dari kasur seraya berjalan menuju kamar mandi.
Sembari menunggu Jane keluar dari kamar mandi, John beranjak menuju dapur untuk membuat kopi sembari menghisap rokoknya, ia mengawasi Jane dengan menempatkan beberapa kamera di dalam kediamannya.
Hal tersebut ia lakukan agar Jane tidak sampai tertangkap meskipun hari dimulainya permainan tersebut adalah besok, ia tidak ingin ada kejadian seperti kemarin sore saat dimana orang yang seharusnya hanya mengawasi malah mengambil inisiatif untuk menculiknya.
Beberapa menit kemudian Jane keluar dari kamar mandi dengan handuk menutupi sebagian tubuhnya, dia masih belum sadar jika dirinya sudah diawasi sejak lama.
Terdengar suara seorang pria berbicara dari dalam topeng milik John. “What a nice view, huh? (Pemandangan yang bagus, hah?)” tanya seorang pria kepadanya melalui radio komunikasi pada topengnya.
“Shut up, old man, (Berisik, tua bangka,)” ejek John kepadanya. “Did you finish it already? (Apa kau sudah menyelsaikannya?)”
“Not yet, it so diffucult to bring that things here. (Masih belum, sangat sulit untuk membawa hal itu kesini.)”
“That’s your job as FLST, get it done before tomorrow. (Itu tugasmu sebagai FLST, selesaikan itu sebelum besok.)”
“Understood, sir. (Dipahami, tuan.)”
“Geez, we’re friend, im out. (Dih, kita teman, aku keluar.)”
Percakapan diantara mereka berdua sangat singkat sebab John tidak ingin keberadaannya diketahui oleh para elite.
Bip… bzzzt bzzzt. Suara handphone.
Jane mengambil handphonenya dan membaca pesan masuk yang diterimanya tadi.
Jane, datang ke rumah sakit kasih hati sebelum jam satu, aku tunggu disana.
Pesan singkat tersebut dikirim oleh agensinya yang menyuruh Jane untuk melakukan test ultrasonografi agar rumor buruk tentangnya yang sedang beredar segera hilang dan tidak menjadi hambatan bagi karir beraktingnya.
Jane menelepon Mang Jajang untuk menjemput dan mengantarnya menuju tempat janjian, ia memilih-milih baju yang pantas untuk dikenakan saat berada disana.
Tak berapa lama kemudian suara mobil terdengar dari depan pagar, ia bergegas memakai bajunya dan turun ke bawah.
Mang Jajang keluar dari kursi kemudi dan membukakan pintu untuknya, Jane duduk disebelah manajernya.
“Kamu gak makan kan tadi malam?” tanya manajernya.
“Hehe, aku makan tapi cuman nyemil kok Mbak.”