Legitimate Dating

Bentang Pustaka
Chapter #2

Sahabat Gila Tenar

The game is begin!

Setidaknya, itu yang kukatakan dengan semangat ‘45 beberapa menit yang lalu. Tapi sekarang, aku lebih berharap frasa game over menghampiriku lebih cepat. Terjebak dengan musuh lemah, tapi tidak juga gampang dibunuh, itu lebih sulit daripada menghadapi bos dengan level tinggi.

Ya, ampun! Ini sudah pukul 5.00 pagi! Otakku sudah terlalu capek memikirkan strategi.

Senna: El! El Zeus!

Si sekutu dunia akhirat tapi lemotnya minta ampun itu, malah berdiri mirip tiang listrik di pojokan. Char-nya sih, melek dengan napas naikturun, tapi aku yakin si tuannya sudah menghilang ke dunia antah-berantah. Dia satu-satunya harapanku sekarang. Tipe char-nya yang penyihir sesuai dengan kelemahan makhluk ini.

Name : Shadow Queen Weakness : Symphon

Age : 32 Minutes Elemen : Dark, Wind

Gender : Female Resistance : Arrow, Sword, Wind

Senna: El, Bangun, dong! Iblis ini ngilang-ngilangnya cepet banget! Aku nggak sanggup nanganin, pusing, nih!

Teriakanku seperti orang idiot karena berpikir bahwa kuping El punya kemampuan membaca chat.

Senna: El Zeus! Jangan molor di medan tempur!

Lagi-lagi aku melakukan pekerjaan sia-sia.

“Ter, Tera?” Suara Mama.

Baiklah! Kugebrak keyboard-ku yang sudah meningkat suhu permukaannya. Jari-jariku yang kaku kurentangkan hingga menimbulkan bunyi gemeretak. Usaha klak-klik dari sekitar satu jam yang lalu—yang belum juga membuahkan hasil—membuat hatiku gemas, mentok ke dongkol. Sekarang aku butuh kopi.

Senna: El, kuserahin ke kamu. Aku udah berusaha mengetahui kelemahannya, sisanya bagianmu. Serang dia kapan pun kamu bangun.

Aku resmi meninggalkan kubikel berisi perangkat komputerku. Aku meloloskan diri dari pintu kamar, lanjut ke dapur. Wanita dengan celemek abu-abu bergambar wortel menyambutku dengan senyum ganjil, “Tumben udah bangun, bantuin Mama, gih!” rayunya sembari memetiki daun seledri dari gagangnya.

Bangun? Aku bahkan belum tidur, Ma! batinku, memberikan sinyal tidak ingin diusik. Namun kemudian, aku berhasil menyusun kalimat tanggapan lain. Karena, kalau Mama sampai tahu bahwa aku tidak tidur cuma buat main game, bisa habis riwayat komputerku!

“Mau belajar buat try out, Ma.” Alasan yang brilian. Nyatanya bukan cuma alasan karena nanti aku benar-benar ada try out. Apa kabar buku-buku pelajaranku? Belum tersentuh.

“Oh, begitu, ya? Ya, udah, deh. Tapi, enakan belajarnya habis mandi. Biar segeran,” sahut Mama yang langsung kusetujui dalam batin. Di balik semua kebawelan dan obsesi butanya menjadi chef abal-abal, Mama tetaplah ibu-ibu dengan sejuta nasihat masuk akal.

“Ya, habis ini aku mandi.”

“Eh!” tangkis Mama saat bibirku hampir menyentuh gelas yang berhasil kuraciki kopi di dalamnya. Wanita itu geleng-geleng, entah apa maksudnya. Lalu, dari matanya yang mengintimidasi itu aku dapat membaca satu hal: Mama melarangku minum kopi!

“Yaelah, Ma! Cuma segelas, biar bisa melek,” protesku. Tapi, gelas keramik bergambar teddy bear telah beralih kekuasaan ke tangan Mama.

“Kamu masih muda, nggak baik minum kopi. Jangan ikut-ikut abangmu, dia memang udah buluk dari sananya. Kulitmu putih bersih, gigi juga kinclong, minum kopi bakalan bikin kamu butek. Sayang, kan, anak cantik Mama.” Orangtuaku satu ini tidak mengkhawatirkan kerusakan ginjal, atau paling tidak gangguan asam lambung. Dia lebih memikirkan “kecantikan”. Apa memang naluri seorang ibu begitu, selalu ingin anak perempuannya cantik? Masuk akal, sih, soalnya menurut sebagian besar orang, harga “jual” perempuan itu dinilai dari kecantikan. Kalau aku, lebih suka melihat dari sisi inner beauty.

“Nih, minum ini saja!” Mama memamerkan botol kaca berisi cairan kuning kehitaman yang baru ia ambil dari kulkas.

“Ih, apaan, tuh?” Indra penciumanku mengernyit, menandakan ada yang tidak beres.

“Jamu. J-A-M-U. Nah, kalau ini bagus buat remaja putri sepertimu.” Mama sudah menuang zat cair beraroma aneh itu ke dalam gelas. Saat itu juga aku merasa kepalaku mulai pening.

“Nih!”

“Hueggghhh!” Jempolku sudah bekerja sama dengan telunjuk menjepit hidung. Mulutku terkunci rapat-rapat dan leherku mengeleng-geleng konstan. “Nggak, Ma! Lentera nggak mau minum itu.” Ini saatnya kabur.

Lihat selengkapnya