Legitimate Dating

Bentang Pustaka
Chapter #3

Laki-Laki Pentraktir

Hari ini aku bisa menghindar dari menu makan siang yang aneh dari Mama. Ayam masak rica-rica, tapi ditambah potongan mangga. Ceritanya mau masak ala Thailand, tapi gamal, alias gagal maksimal! Sudah kubilang mamaku itu chef wanna be, kan? Punya obsesi diakui kemampuan masaknya, sampai buka katering segala, tapi praktiknya memprihatinkan. Mungkin ibu-ibu kompleksku sudah putus asa hingga menganggap masakan mamaku masuk kategori layak konsumsi. Kemungkinan lain, mereka tertarik dengan harganya yang murah.

Misi penyelamatan lambungku membuatku terdampar di tempat ini. Dengan setelan kaus oblong, sandal jepit, kupilih-pilih menu yang terpampang di atas konter pemesanan.

“Paket Jumbo satu,” telunjukku beraksi, “Chick and Cheez burger satu. Latte Jelly Float-nya satu. Kentang gorengnya juga satu. Eh, tambah Ice Cream Vanilla Almond. Udah, kamu pesen apa, El?” Aku menoleh setelah puas menunjuk-nunjuk.

“Lho, kamu nggak pesanin aku sekalian ya, itu tadi?” sahut cowok berkacamata tapi jauh dari kata culun. Sebagai seorang gamer, cowok ini termasuk kategori yang terawat.

Aku menggeleng khusyuk, “Itu buat aku semua, kalik. Sini pesan sendiri, sekalian bayarin punyaku!” tanggapku memberi jalan El maju ke konter.

“Paket Jumbo-nya satu kalau gitu, Mbak. Itu paketannya udah sama Pepsi, kan? Minta setruknya, ya!”

Setelah mendapatkan pesanannya, yang dijadikan satu dengan pesananku, aku menggiring El mencari meja. “Sejak kapan kamu jajan minta setruk?” tanyaku begitu kami berdua berhasil meletakkan pantat di kursi plastik.

“Sejak hari ini. Buat laporan.”

“Hah? Laporan ke siapa emang?”

“Ke ibuku, lah. Jadi, kalau tiba-tiba uang jajanku habis, aku bisa tunjukin buat apa-apa aja. Biar ibuku nggak curiga uangku kepakai buat hal-hal yang nggak baik.”

“Oh, begitu, ya? Ibumu protektif banget gitu emang?”

“Nggak juga,” sahut El cuek. Ia mulai menggigit ayamnya tanpa menoleh ke arahku.

“Jadi, ceritanya enggak ikhlas traktir aku segini banyak?” pancingku, mencoba mengartikan ekspresi El yang di luar kewajaran. Siapa suruh nawarin traktir sepuasku? Sudah menjadi risiko, dong, kalau aku kalap dan memanfaatkan penawaran itu dengan sebaik-baiknya.

“Enggak, kok. Ikhlas, seribu persen ikhlas.”

Aku tersenyum melihat ekspresi El dengan dua jarinya yang mengacung. “Lagi pula, kita kan, impas. Kamu dapat material, aku dapat traktir. Susah, lho, ngebunuh iblis kemarin.”

“Kalau susah, nyatanya kamu bisa ngatasin. Tapi, aku masih penasaran, gimana caramu ngebunuh? Emangnya char-mu udah punya skill baru?”

“Enggg, itu ... itu, aku pakai senjata, kok, di Sharing Shop ada yang nawarin bom ultrasonik. Ya udah, aku beli. Kalau bom, kan, tinggal lempar nggak perlu pakai skill.” lontarku asal, bisa gawat kalau El tahu yang sebenarnya.

“Oh, gitu, ya.”

Syukurlah El tidak mengorek-ngorek lagi dan lebih memilih sibuk dengan santapannya. Aku juga berniat menghanyutkan diri dengan cita rasa makanan KFC ini, awalnya, sebelum sebuah pesan dengan nama pengirim empat huruf kapital mengganggu konsentrasiku.

Nuna: Like posting-an baru Instagram-ku. GPL!

Ada gitu orang minta di-like mesti BBM dahulu? Kurang kerjaan. Seberapa besar, sih, like di medsos berpengaruh sama kehidupan ini? Kalau segitu pentingnya, mending buat banyak akun, sampai seribu kalau perlu, terus di-like-like sendiri dan di-komen-komen sendiri. Beres, kan?

Meski setengah ikhlas, aku akhirnya mengecek juga apa yang membuat Nuna jadi segitunya. Jariku meluncur ke aplikasi Instagram sambil berdoa supaya yang di-posting Nuna tidak ada sangkut pautnya denganku lagi. Bisa terguncang kejiwaanku kalau terus dibombardir ke-kepo-an khalayak ramai.

Sudah kualami kemarin dan cukup sekali. Kelakuan Nuna yang seenak jidat mengunggah isi angketku menimbulkan kehebohan publik. Dan, lumayan membuatku stres. Bagaimana tidak stres kalau guru BP ikut menginterogasiku dan mengira aku hamil di luar nikah? Belum lagi komentar yang bemunculan di akun Nuna yang membuat mataku panas.

Antusiasme massa akhirnya bisa teredam setelah Nuna kupaksa menghapus posting-annya. Itu baru berhasil dilakukannya pulang sekolah tadi. Dengan susah payah, tentu saja. Karena di balik aib teman yang terbongkar, ada dirimu yang mendadak tenar. Yah, dalam hal ini, Nuna yang mendadak tenar.

“Hah?”

“Ada apa, Sen?”

Lihat selengkapnya