LEIKHUS

Alda Siti Dalilah Nursalam
Chapter #1

BAB 1

“Ayo cepat sembunyi, sembunyi,” bisik Sinar pada Embun dan Petir. Embun dan Petir menurut. Mereka bersembunyi di balik pintu kamar yang berwarna putih. “Anak-anak ayo keluar ada makanan enak disini, eumm harumnyaa. Sinar, papa punya kejutan untukmu,” ujar Papa Sinar sambil mengendap-ngendap memasuki kamar yang berdinding merah muda dengan beberapa hiasan berwarna putih, dan berpura-pura tidak mengetahui keberadaan ke tiga anak tersebut. Embun, Sinar, dan Petir tertawa cekikikan. Mereka bertiga, keluar dari tempat persembunyian. Sinar langsung berlari dan memeluk sang papa. Sinar tampak bersemangat ingin melihat hadiah yang dibawakan oleh papanya. Saat kotak merah jambu tersebut dibuka, Sinar langsung berteriak kegirangan. Ia mendapat baju dan sepatu balet. Embun dan Petir ikut senang melihat senyum indah merekah dari bibir Sinar.

Sinar yang sangat antusias dengan hadiahnya, langsung berlari meminta bibi memakaikan gaun dan sepatu balet miliknya. Ia berlari, meloncat kesana kemari, berputar-putar, mengelilingi setiap sudut kamar yang sangat luas sambil menari-nari. “Embun lihat, bajunya cantik sekali. Aku akan tampil di gedung pertunjukkan, benarkan papa?” kata Sinar sambil menari-nari mengelilingi Embun. Papa mengangguk dan memberikan selembar kertas. Sinar yang pada saat itu baru berusia 8 tahun mencoba membaca tulisan yang ada pada kertas tersebut. Embun ikut membaca. Petir asik memakan kue yang dibawa oleh Papa Sinar di depan lemari pakaian yang berwarna putih. Setelah selesai membaca dan mengetahui tulisan dari kertas tersebut, Sinar kembali berteriak, ia sangat senang. Sang papa telah mendaftarkannya ke sekolah balet ternama di kotanya.

“Hahaha sudahlah Sinar jangan terus memeluk papa. Itu lihat Petir, asik sekali ia makan kue, apa kalian berdua tak ingin memakan kue tersebut?” Sinar meletot dan langsung melepaskan pelukannya, menarik tangan Embun, dan menghampiri Petir yang berwajah penuh krim coklat. Mereka bertiga asik sekali memakan kue coklat sambil bercanda.

“Ih kamu Petir, jangan menyentuh gaunku! Tanganmu kotor! Gaunku jadi rusak!” teriak Sinar.

“Akukan ga sengaja!” teriak Petir.

“Tetap saja, kamu merusak gaunku!” balas Sinar.

“Petir ayo minta maaf,” kata Embun menengahi.

“Aku ga sengaja Kak Embun, Kak Sinarnya saja yang manja,” jawab Petir ketus.

Sinar langsung mencubit lengan Petir. Petir menangis. Sinar langsung keluar dari kamarnya. Embun memeluk Petir, berusaha menenangkan adiknya yang baru berusia 6 tahun itu. “Sudah sudah, jangan menangis. Sebentar lagi sakitnya akan hilang. Lain kali kamu jangan membuat Sinar Kesal. Ayo cuci wajahmu, jangan sampai ayah tau kau bertengkar dengan Sinar,” kata Embun. Petir masih terisak-isak. Embun menuntunnya ke kamar mandi untuk membersihkan wajah dan tangannya yang penuh dengan krim.

Embun yang sedang membersihkan wajah Petir, mendengar suara langkah kaki yang cukup keras. Sepertinya Sinar kembali ke kamar. “Heh kalian! Ngapain di toilet kamarku?!” teriak Sinar dengan wajahnya yang masih terilihat kesal. Embun mencoba memberitahu Sinar dan menenangkan Sinar. Lambat laun amarah Sinar pada Petir mereda. Embun selalu bisa meredakan amarah Sinar sebesar apapun.

“Anak-anak ayo pulang,” kata seorang pria yang bertubuh tinggi, kerempeng, dengan kerutan yang mulai terlihat di wajahnya. Petir langsung berlari dan memeluknya. Itu ayah Embun dan Petir. Embun berpamitan pada Sinar. Belum sempat tangan Embun memegang lengan sang ayah, Sinar langsung menarik tangan Embun. Ia memberikan sesuatu pada Embun, sambil berbisik. “Embun,” panggil lembut sang ayah. Embun langsung menghampiri. “Non Sinar, bapa, Embun, sama Petir pamit dulu ya,” ujar ayah Embun sambil tersenyum ke arah Sinar. Sinar mengangguk dan melambaikan tangannya pada Embun. Sambil memberikan kode-kode yang hanya dimengerti oleh Sinar dan Embun.

Di luar sangat dingin, berbeda jauh dengan suhu di dalam rumah Sinar yang hangat. Jalanan terlihat lengang. Angin malam menghembus cukup kencang. Mereka menyusuri jalanan perumahan menuju ke pemukiman kumuh dengan berjalan kaki.

“Ayah ayah, Sinar sudah daftar sekolah balet sekarang. Tadi juga, tuan besar ngasih Sinar baju balet sama sepatu balet. Bagus sekali loh yah!” ujar Embun dengan semangat.

“Owalah akhirnya keinginan non Sinar sudah terwujud, kamu mau ikut sekolah balet juga?” tanya sang ayah sambil mengusap kepalanya. Embun hanya tersenyum tidak menjawab, tapi wajahnya yang memerah mengatakan ya.

Petir yang sedari tadi duduk di pundak sang ayah asik bernyanyi tak menghiraukan sang kakak yang wajahnya memerah. Sepanjang perjalan, hanya diiringi suara Petir yang asik bernyanyi. Sesekali suara kendaraan melintas menjadi sound effect nyanyian Petir.

Lihat selengkapnya