Kaos tanpa lengan melekat ketat pada tubuh kekarnya yang sudah dipenuhi peluh. Peluh menjadikan otot-otot lengan kecoklatan itu mengkilap saat matahari di ujung kepalanya tak henti memberikan panas untuknya.
"Baja, tolong betulkan genteng rumah Ceu Haji!"
Baja menghentikan ayunan kapak besar yang sedari tadi membantu tangannya memecah kayu untuk dijadikan kayu bakar, lalu menoleh dan berkata, "Baik, Ceu Haji."
Perempuan paruh baya yang dipanggil 'Ceu Haji' hanya satu dari sekian banyak tetangga yang meminta bantuannya. Dari mulai membetulkan genteng, memperbaiki saluran pembuangan air yang mampet, membawakan gabah kering dari sawah, dan pekerjaan yang menggunakan kekuatan otot lainnnya. Baja terbiasa melakukan semuanya, terkecuali memasang regulator pada tabung gas. Dia pasti angkat tangan dan memilih kabur karena takut. Entah apa sebabnya yang membuat lelaki kekar yang katanya tidak takut apapun, tapi tatkala disodorkan tabung gas dan regulator ia akan lari terbirit-birit seperti melihat hantu.
Karena itulah, di tengah kemajuan zaman yang semakin pesat, dimana hampir semua kalangan masyarakat sudah beralih dari kayu bakar atau tungku minyak tanah ke kompor gas atau listrik, Baja masih memilih tungku kearifan lokal yang bahan bakarnya melimpah ruah tanpa harus mengeluarkan uang sepeserpun atau ngantri dan mencari ke sana kemari tatkala langka saat waktu tertentu. Ia tinggal memungut ranting atau pohon tua yang bergelimpangan sekitar kebun atau pinggir kali.
Subagja atau biasa dipanggil Baja lahir dari rahim seorang ibu tanpa tahu siapa yang menyebar benihnya. Menurut kabar angin, ayahnya berasal dari negeri unta. Bukan tanpa sebab mereka meyakini gosip murahan itu, karena ciri fisik yang dimiliki pemuda matang berusia 35 tahun ini mewakili kriteria sebagai keturunan yang disangkakan orang-orang sekitarnya; postur tinggi dengan rambut hitam agak kruwel, mata besar dipadukan dengan warna kulit coklat terang. Walaupun sekarang berubah menjadi coklat tua karena seringnya terbakar matahari Indonesia. Selain itu, kelebatan janggut dan kumis serta alis mata yang cukup tebal membuat mereka meyakini kebenaran kabar angin tersebut. Apalagi benih yang mengisi perut ibunya hadir ketika pulang TKW dari negeri itu.
Baja sempat bertanya pada wanita renta yang dipanggilnya 'Nenek'. Wanita yang telah merawatnya sejak ia dilahirkan. Meninggalkan dirinya untuk selamanya tiga tahun silam, sebelum bisa mewujudkan keinginannya. Melihat cucunya menikah.
"Ibumu wanita baik-baik. Dia hanya korban ketidakberdayaan."
Hanya jawaban itulah yang ia dapatkan setiap kali bertanya tentang kebenaran kabar angin yang dulu sempat merebak dan membuat wanita yang mengandungnya tidak kuat menanggung beban dan tekanan masyarakat sekitar, depresi. Lagi-lagi perihal ibunya stress ia dengar dari mulut orang-orang luar bukan dari neneknya.