LELAKI BAJA

Rara3
Chapter #3

Pembantu Baru

Lima belas menit kemudian Baja sudah berdiri di depan pagar tembok setinggi dua meter dengan kawat-kawat berduri di ujungnya. Satu dari sekian bangunan megah yang ada di kampungnya. Meskipun di kampung, rata-rata mereka berhasil mengadu nasib di luar daerah. 


Di balik pagar tembok, tentu saja ada bangunan luas milik Pak Karta sebagai istana sekaligus simbol kemakmuran dan kekayaan yang dimilikinya. Ya, rata-rata orang di kampungnya akan menunjukkan kesuksesan mereka dengan hunian megah dan kendaraan mewah. 


Sebenarnya Baja tak habis pikir, mengapa Pak Karta rela mengeluarkan uang banyak untuk membangun rumah dengan belasan kamar di dalamnya dan ruangan besar lainnya. Setiap kamar dilengkapi tempat tidur mewah, gantungan lampu mahal, furniture bermerk dan barang-barang yang sebenarnya hanya kebutuhan tersier saja. Lalu, apa dia menempati setiap kamar di dalamnya? Tidak. Justru hunian megah itu jarang di tempatinya karena sibuk urusan kerja di luar daerah. Hanya sesekali, itupun kamar tidur utama atau meja makan. Apakah hal ini bisa disebut mubazir? Listrik? Biaya perawatan? Upah pekerja dan lain sebagainya?


Baja menggelengkan kepala. Mengapa juga ia harus pusing memikirkan orang kaya yang sedang memamerkan pencapaiannya. Uang uang dia, yang kerja keras dia, yang mengeluarkan biaya pemeliharaan dia.


Baja memencet bel yang berada di dinding pintu gerbang yang terbuat dari besi baja kualitas terbaik. Kalau ditaksir harganya pasti setara dengan biaya pembangunan rumah sangat sederhana miliknya. 


Tak beselang lama terdengar derit pintu pagar yang dibuka dari dalam, kemudian seorang perempuan muda tak dikenalnya bertanya pada Baja, "Mau ketemu siapa dan ada keperluan apa ya, Pak?"


Baja tidak lantas menjawab, ia menilik penampilan dirinya sebentar--mengusap wajah brewokannya yang tak sempat dicukurnya seminggu ini. 


"Baru kali ini ada yang manggil Pak?" pikirnya. 


Pastinya bukan panggilan kehormatan seperti kepada Pak Karta, mengingat pakaian yang melekat di tubuhnya hanya kaos usang penuh jamuran di bagian pundaknya.


"Apa 'aing' sudah setua itu?" pikirnya lagi. 


Wanita muda itu kembali mengulang pertanyaannya dan dengan cepat Baja pun menjawabnya. 


"Perkenalkan saya Baja, tukang kebun di sini."


Baja mengulurkan tangannya hendak bersalaman, tapi tak mendapat sambutan dari wanita muda di depannya. Hanya tangan yang ditangkupkan di dada dan senyuman manis serta anggukan kepala sebagai penghormatan. 


"Tunggu sebentar, ya, Pak!" suruhnya, lalu menutup kembali pintu gerbang dan menguncinya lagi. Takut Baja masuk. 


Sudah tidak aneh bagi Baja. Wanita itu melakukan kewajibannya--tidak boleh memasukkan sembarang orang asing ke rumah Pak Karta, takut yang datang perampok. Bahkan pernah orang tua Pak Karta harus nunggu anaknya pulang setengah jam-an. Berdiri di balik gerbang dalam keadaan basah kuyup kehujanan. Kasihan! Ternyata jadi Pak Karta yang kaya banyak takutnya.


Lihat selengkapnya