Witing tresno jalaran soko kulino "cinta yang datang atau tumbuh karena terbiasa." Ungkapan bahasa Jawa ini tepat disematkan pada Baja dan Fatimah.
Tiga kali dalam seminggu mereka bertemu meskipun Fatimah irit bicara. Hanya senyum atau gestur tubuh yang sering diperlihatkannya daripada bahasa verbal. Namun, karena itulah Baja mulai menyukai Fatimah. Ia suka caranya Fatimah bekerja tanpa mengeluh, ia pun mulai kecanduan melihat senyum malu-malunya saat membukakan pintu gerbang atau sekedar diajak bercanda. Atau, ia mulai ketagihan saat dibawakan minuman dan makanan.
Baja kira ia takkan mengalami lagi alunan syahdu dari nada-nada cinta yang digerakkan Sang Maha Cita. Umurnya sudah hampir di ufuk barat untuk sekedar ingin merasakan debaran tak karuan di dadanya lagi. Akan tetapi, nyatanya Tuhan masih ingin dirinya tersenyum bersamaan dengan kumbang-kumbang yang siap mengecap manis madunya bunga cinta.
"Kang, ini makan siangnya." Fatimah menyodorkan sepiring nasi beserta lauk pauk sederhana ke hadapannya, lalu ia undur diri.
"Neng, tunggu! Akang ingin mengatakan sesuatu," ucap Baja.
Langkah Fatimah berhenti, lalu ia berbalik dan menatap sejenak pemuda matang yang kelihatan berbeda. Brewok yang selama ini menutupi sebagian wajahnya, hari ini hilang berganti sisa-sisa cukuran yang membuat wajahnya terlihat menawan. Fatimah menyukainya. Rambut agak kruwel sebahunya kini berganti gaya buzz cut yang membuatnya kelihatan lebih muda dari sebelumnya. Dari mulut Fatimah hampir saja meluncur kata pujian kalau saja tidak terhalang rasa malu dalam dirinya.
"Ada apa, Kang?"
Fatimah beberapa kali mengerjap saat pandangan mereka beradu. Sedangkan Baja hanya berdiri membeku. Pandangannya tak lepas dari wajah ayu Fatimah, sedangkan otaknya sedang diajak berpikir untuk merangkai kata indah.
Sebelum punya kekuatan untuk mengetuk pintu hati Fatimah, malam-malam sebelumnya Baja terlebih dahulu mengetuk pintu langit dengan do'a-doanya. Menghantarkan keinginan dengan menyertakan kebaikan yang pernah dilakukannya. Bukan kebaikan pada manusia, karena setiap ia menolong manusia pasti dibalas dengan materi. Baja menyampaikan pada Tuhannya bahwa ia telah menolong kucing kecebur sumur sedalam sepuluh meter. Ia berusaha keras untuk menolongnya sampai kelelahan demi menyelamatkan kucing itu. Tak banyak, hanya amal kebaikan itu yang ia harap sebagai pengantar terbukanya pintu langit seperti kisah tiga pemuda yang terjebak dalam gua, lalu berdoa dengan menyertakan kebaikan yang pernah dilakukannya.