BAB ENAM
NYONYA BESAR BERAKSI KEMBALI
Suasana kantor di hari sabtu pagi terlihat tenang dan tak ada aktivitas kesibukan yang memuncak seperti minggu kemarin, semua barang-barang sudah terkirim sesuai dengan manifest yang terbit. Pihak lokasi sudah menerima manifestnya dengan lengkap. Container-container nampak tertata dengan rapih dan tidak begitu banyak berjejer rapi di sisi halaman kantor yang luas. Di tengah suasana nyaman ini pohon-pohon bambu kuning tertiup angin sepoy-sepoy dan bergoyang dengan lembut sesuai irama angin pagi dipenghujung tahun.
Yogi memandangi daun-daun bambu dengan hati senang, ada kelegaan setelah minggu kemarin yang tegang dan emosional terlewati. Akhirnya Yogi menang secara mutlak atas pertengkaran dengan Didit. Bukan soal menang sebenarnya, tapi ada hal yang perlu dia luruskan atas tuduhan-tuduhan Didit yang tak beralaskan. Sebab apa yang dimiliki Yogi seperti mobil yang dicurigai, padahal itu hasil dari jerih payahnya, mencicil mobil kelas rendah, yaitu mobil mini bus second dengan cicilan murah. Yogi sengaja mengambil cicilan mobil murah itu untuk keluarganya. Dengan anak tiga yang masih kecil-kecil Yogi dan istrinya merasa kerepotan ketika hendak bepergian di waktu libur.
Istrinya yang mempunyai sedikit warisan dari budhenya menambahkan uang muka untuk mencicilan mobil. Ternyata semua itu menimbulkan kecurigaan bagi Didit dan Berny. Namun setelah meeting itu dan Yogi bicara panjang lebar soal dari mana dia bisa mendapat mobil baru akhirnya mereka percaya, walau sebenarnya tak perlu juga Yogi membuktikan sedetail itu mengenai dari mana dia bisa mempunyai mobil. Tapi Yogi sengaja menceritakan agar Berny tak selalu mencurigainya soal mobil itu.
“Saya punya mobil itu hasil dari mencicil, gaji saya cukup untuk mencicil mobil tahun lama, hanya Rp1.230.000 sebulan selama satu tahun dengan uang muka dari bonus saya ditambah sedikit warisan istri saya, tak ada sedikit pun saya meminta pada supplier-supplier itu! Dan tak ada sedikit pun saya meminta pada siapa saja! Ini buktinya!”
Sebuah bukti surat cicilan terakhir yang pada hari itu dia bayar, dia beberkan dihadapan peserta meeting, pada Berny, Didit, Lingga dan Maryatun tepatnya yang ingin agar mereka tahu. Dari situ mereka bungkam dan tak lagi menyindir-nyindir soal kepemilikan mobilnya. Hari ini adalah hari dimana hatinya tentram karena satu dari sekian banyak kecurigaan yang dituduhkan pada dirinya dapat diatasi.
Yogi berjalan dengan santai menuju ruangannya, belum banyak karyawan yang datang, hanya Siti dengan tatapan khawatir terlihat sedang mengepel lorong menuju ke arah pantry. Yogi sedikit aneh melihat Siti dengan tatapan seperti itu, tidak biasanyanya Siti yang selalu menyanyi-nyanyi dangdut kegemarannya jika sedang mengepel lantai di pagi hari. Siti akan berhenti bernyanyi ketika Maryatun datang, karena hanya Maryatun yang akan melarang Siti bekerja sambil bernyanyi dengan larangan suara Siti gak enak, ditambah dengan senandung lagu dangdut yang kata Maryatun membuat kupingnya gatel.
“Paakk….!”
Kata Siti dengan pelan, Yogi tak mendengar Yogi langsung membuka pintu ruangannya. Ketika pintu dibuka betapa kagetnya Yogi, dikursinya sudah duduk dengan tidak sopannya seorang perempuan dengan pakaian seperti hendak pergi ke pesta para selebritis yang tidak terkenal yang akan diliput oleh infotainment bayaran.
Yogi memandang dengan heran ke arah Ningsih.
“Kenapa? Kaget? “
Ya kagetlah gila! Pagi-lagi sudah ada perempuan dengan dandanan nauzibulah!…Memakai baju panjang dengan motif lukisan abstrak membalut tubuhnya yang semok dan terasa sempit, pakaian berwarna merah muda yang menyilaukan. Ditambah dengan rambut yang dimodel seperti para bangsawan jaman dulu, serta make up yang kelewat berani karena tebal seperti sundel bolong. Ihhh serem! Untung pakaiannya gak putih!
Yogi mematung dipintu, ragu apakah dia harus masuk atau mengusir Ningsih dari ruangannya. Kemudian dilihatnya Siti yang juga mematung dengan berpegangan pada tangkai kain pel. Wajahnya melongo seperti merasakan kebingungan yang juga dirasakan Yogi.
“Ada urusan apa ya pagi-pagi?”
“Banyak!”
“Saya rasa lebih baik tidak bicara di sini! Dan tidak membicarakan hal di luar pekerjaan!”