LELAKI DITITIK NADIR

Bhina Wiriadinata
Chapter #19

BAB SEMBILAN BELAS RESIGN

BAB SEMBILAN BELAS

RESIGN

 

Semalaman Yogi becerita pada Marini – istrinya, dengan wajah lesu Marini mendengar semua keluhan dan cerita menyakitkan yang dialami suaminya. Yogi sebentar-bentar Yogi berhenti guna menenangkan dirinya yang gemetar menceritakan kembali peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan keadaan sekarang di kantornya. Yogi merasa tidak sanggup menghadapi teror dari Berny dan Ningsih yang begitu mendendamnya, begitu pun Maryatun, seolah menambah bala bantuan untuk untuk menuntaskan dendamnya pada Yogi, sedang Darmaji seperti tokoh tak terduga yang muncul dengan karakter tukang ngacak-ngacak.

Ketika sampai pada titik keputusan berat yang harus Yogi ungkapkan pada istrinya, Marini terdiam, ditatap wajah suaminya yang begitu berat menyimpan beban yang begitu membelenggu yang selama ini tanpa dia bicarakan, bahkan dia telan sendiri dengan kesakitan yang mungkin tak ada obatnya.

Marini tahu betul siapa laki-laki dihadapannya, Yogi adalah lelaki tampan yang entah dari mana dulu datangnya, tiba-tiba saja menyatakan cintanya dihadapan para customer bank yang sedang antri ketika Marini bekerja sebagai teller bank. Kemudian dengan hati yang menlonjak-lonjak Marini seolah dibangunkan dari tidur panjangnya soal cinta lelaki. Ketika melihat Yogi, Marini seperti disiram air sejuk nan dingin yang kemudian meneduhkan hati dan pikirannya, kemudian merubah cara pandang hidupnya tentang cinta lelaki.

Marini mengalami semacam trauma cinta yang tak sanggup dia jalani. Pacarnya dulu seorang anggota polisi, berselingkuh dengan teman dekatnya ketika cincin pertunangan telah terpasang dijarinya. Sejak itu tak seorang lelaki pun diizinkan masuk ke dalam hatinya, Marini berjanji tak akan menikah ketika harus mencari lelaki atau berusaha memikat lelaki, Marini ingin semuanya alami dan memegang teguh kata-kata budhenya, bahwa Tuhan akan menghantarkan jodoh untuknya tanpa harus dicari, tinggal menunggu saja, jodoh itu akan datang dengan sendirinya. Benar apa yang dikatakan budhe-nya, jodoh itu datang dengan sendirinya, seorang lelaki tampan tiba-tiba saja berdiri di meja teller dan hendak menabung. Kemudian hari-hari selanjutnya lelaki berkulit putih dengan mata berwarna abu-abu itu menggetarkan hatinya dan membuat Marini tak berdaya ketika lelaki dengan rambut sedikit merah itu menyatakan cintanya dan mengajak bertunangan.

Marini tak bisa tidur sejak itu, benarkah lelaki bernama Yogi Arief itu jodohnya? Rasanya kalau diukur, tak mungkin, mengingat Yogi begitu tampan dan dia merasa tak sepadan, namun getaran hati pun tak dapat dipungkiri setiap kali mengingat Yogi. Marini tak dapat berbohong, betapa senangnya dia ketika Yogi memeluknya di dalam bioskop dan Marini tak kuasa, ketika untuk pertama kalinya bibirnya bersentuhan dengan bibir lelaki. Marini tak sanggup menghindari getaran cinta, tak dapat dia tangkis, sampai akhirnya Marini menerima Yogi sebagai suaminya dan melahirkan tiga orang anak.

Kini Yogi yang sudah menikahinya selama delapan tahun, menceritakannya sebagai lelaki yang gagal memertahankan harga dirinya, yaitu pekerjaannya. Marini tak dapat berkata-kata, hanya diam dan mendengarkan dengan seksama. Marini teringat pesan budhenya yang dikaitkan dengan keimanannya, bahwa lebih baik diam mendengarkan keluhan suami.

Kemudian kekalutan Yogi menjadi beban buat Marini. Ke depan akan dibawa kemana rumah tangga ini, ketika sang suami tak bekerja? Bagaiamana mengatasi kesulitan hidup tanpa pekerjaan bagi sang suami. Marini tak bekerja lagi semenjak melahirkan anak keduanya, Marini tak bisa meninggalkan anaknya yang tak dapat dia titipkan pada siapa pun di Surabaya ini. Saudara Yogi berada di Bogor sementara Marini tak punya saudara lain selain budhe-nya di Yogyakarta yang sudah meninggal.

“Kita akan pindah ke Jakarta….”

“Lalu?”

“Kita beli rumah dari uang pesangon, udah-mudahan ketika di Jakarta nanti aku dapat pekerjaan secepatnya, kalau pun lama, setidaknya kamu bisa buka usaha, bagaiaman?”

Lihat selengkapnya