BAB DUA PULUH SATU
PERJUANGAN DAN DOA
Kembali ke Jakarta adalah kembali berjuang dengan suasana yang berbeda, perjuangan kali ini lebih berat dibanding waktu dulu Yogi bujangan, sekarang bebannya teramat berat. Di usia 35 tahun Yogi harus berjuang dengan para pencari kerja yang fresh graduate tanpa pengalaman, tapi menjadi lawan bagi yang berpengalaman. Setiap hari, semenjak tiga bulan lalu ketika menginjakan kembali kakinya di Jakarta, Yogi segera bangkit mencari peluang kerja. Anak-anak dan istrinya tak mungkin terus bersandar pada uang hasil pesangaon yang sudah mulai menipis. Uang pesangon dipakai bayar uang muka rumah dan mencicilnya yang akan mencekik lehernya kemudian, Yogi juga harus menyekolahkan anak-anaknya, belum lagi kebutuhan setiap harinya yang seperti memeras ototnya dan pikirannya.
Berpuluh-puluh surat lamaran dikirim ke setiap iklan lowongan di Koran yang menjanjikan. Setelah sekian lamaran dikirim hanya ada satu dua yang memanggilnya untuk interview, sialnya mereka selalu berkata menyakitkan, tak bisa menerima Yogi yang meminta gaji besar. Sebenarnya bukan besar gaji yang diminta Yogi, semua itu dengan perhitungan tiga orang anak, satu istri dan transportasi yang jauh. Namun perusahaan yang memanggil kerja itu hanya bisa menggajinya dengan UMR yang terbatas, terpaksa Yogi melepasnya karena transportasinya yang tak dapat dijangkau.
Sebuah telepon dari seseorang berdering di HP-nya, seorang perempuan dengan suara lembut mengabarkan bahwa besok Yogi diminta datang untuk interview, kemudian esoknya pagi-pagi sekali Yogi sudah bangun, di jam selepas solat subuh, Yogi menuju perushaan itu yang berada di utara Jakarta. Yogi membayangkan jika dia diterima kerja di daerah kepala naga, jam berapa dia harus bangun? Pergi dengan mengggunakan kendaraan umum dari rumahnya yang berada di pinggiran selatan Jakarta? Ahh itu nanti, siapa tahu ini perusahaan besar yang mau menggajinya besar? – hatinya menenangkan kemudian
Tibalah dia di tempat yang dituju, sebuah gedung baru dengan bau cat yang masih menyengat. Yogi berjalan mencari tempat yang dimaksud, baru saja akan menuju tempat itu beberapa orang yang bertampang pencari kerja seperti dirinya telah mengular bagai antri beras, dia pikir hanya dirinya saja yang dipanggil interview? Ternyata begitu banyak yang sudah menunggu, padahal kantor yang dimaksud belum buka sama sekali, jam masih 7.25?
Perasaan Yogi mulai tak tenang, perusaahan ini sedang mencari apa sebenarnya? Begitu banyak orang-orang ini? Mungkin orang-orang itu hanya untuk bagian yang bukan saingan Yogi, sementara dirinya yakin bahwa dia akan ditempatkan disebuah posisi yang sesuai dengan lamarannya. Yaitu sebagai manager procurement.
Ketika kantor sudah dibuka seluruh pelamar diminta mengisi isian calon pegawai, mereka seperti Yogi, berebut hanya untuk secarik kertas isian lamaran, padahal begitu banyak kertas isian itu yang disebar oleh panitia. Orang-orang yang membutuhkan pekerjaan benar-benar orang yang paling susah, mereka harus berjuang sejak hari baru dimulai dengan kepastian yang belum tentu dapat pekerjaan.
Setelah kertas itu diisi semua calon karyawan dimasukan ke sebuah aula tanpa pendingin udara, udaranya pengap karena jarang dipakai, bau cat masih menyengat, rupanya panitia penerimaan karyawan tidak siap dengan membeludaknya pelamar, ketika Yogi bertanya pada seorang pelamar lain, tahu dari mana mereka ada lowongn pekerjaan di gedung baru ini? Mereka bilang bahwa lowongannya dipasang diberbagai media dengan tulisan ‘Langsung Interview’ maka terjadilah seperti ini, dan hapuslah harapan Yogi. Dia ditelepon oleh seseorang yang menyuruhnya ke tempat ini dengan alasan interview.
Ruang pengap itu berubah jadi bau keringat, perempuan dan laki-laki bersatu seumpama pengungsi yang menanti belas-kasihan, padahal mereka adalah para pelajar yang sedang berjuang dengan ijazahnya. Kemudian terdengar seseorang menggunakan speaker menenangkan para calon karyawan agar tenang dan mau mendengar perintahnya. Lalu keluarlah titah si perempuan yang ber-speaker, bahwa yang mendapat panggilan harap menuju ke ruang sebelah dengan membawa daftar isian yang tadi sudah diberikan, kemudian Yogi mengikuti perintahnya dan beranjak ke ruang sebelah yang lebih manusiawi, yaitu sebuah ruang dengan luas seperti kelas sekolahan dan berpendingin, beruntung Yogi terhindar dari ruang pengap yang seperti camp konsentrasi nazi!