BAB DUA PULUH DUA
BEBERAPA PANGGILAN KERJA
Menjadi pengangguran bukan sebuah pilihan, menjadi pengagguran adalah nasib yang teramat menyedihkan sekaligus menakutkan, seperti menggenggam bola api yang selalu memancarkan panas dan menimbulkan sensasi amarah yang tiada terkira. Pasalnya adalah masa lalu. Memutuskan berhenti kerja adalah sebuah keputusan berani yang banyak mengandung resiko dan resiko terbesarnya adalah sulit mendapatkan pekerjaan dikala usia sudah tak diperhitungkan lagi, kesulitan kedua adalah keluarga, berapa gaji yang dibutuhkan? Tak terpikirkan dahulu sedetail ini. Tapi hidup sekarang bukan masa lalu, hari ini adalah perjuangan yang harus Yogi alami dengan atau tanpa siapa pun, toh hidup terus berjalan?
Kegagalan pertama mendapatkan pekerjaan di sebuah retail elektronik adalah kegagalan yang menyakitkan, karena itu adalah harapan pertamanya dan keyakinan pertamanya bahwa mencari kerja dengan modal sarjana dan pengalaman begitu mudah, semudah menulis puisi. Selain itu juga penggilan pertama itu adalah sebuah pembuktian pada keluarga dan ibunya bahwa Yogi kini sudah mendapat pekerjaan baru.
Selama tiga bulan Yogi berbohong pada ibuya bahwa dia kembali ke Jakarta karena ditempatkan di kantor pusat-ibu percaya, namun firasat ibu menjadi sebuah pembuktian ketika Yogi tak kunjung kerja ketika memasuki bulan ke dua. Akhirnya rahasia itu terbongkar ketika Marini menceritakan yang sebenarnya. Bahwa suaminya sudah tidak bekerja lagi di Jakarta ini.
Tadinya ibu bangga bahwa Yogi dapat membeli rumah meski bertype kecil. Yogi dan Marini terlihat sangat berfoya dengan membawa ibu dan saudara-saudaranya jalan-jalan dan belanja, lalu kemudian ibu menjadi sedih dan seperti kehilangan arah, ibu sering melamun dan menjadi acuh bertemu dengan Yogi. Ibu merasa dibohongi dan dipermainkan Yogi, ibu merasa Yogi hanya menenangkan dirinya, padahal ibu tahu betul dari wajah Yogi yang penuh masalah, wajah Marini yang selalu nampak bingung. Dari situ ibu curiga dan tak kunjung mendapat keterangan, hingga akhirnya teka-teki ibu terjawab sudah, bahwa anak lelakinya yang kini mempunyai tiga anak, satu istri, cicilan rumah dan hutang kartu kredit sudah tak bekerja lagi.
Yogi diam, mau marah ke Marini, kenapa harus ceritakan keadaanya ke ibunya? Bukankah sudah dibilang bahwa apa yang terjadi pada dirinya jangan sampai ibu tahu. Tapi Marini tak sanggup menyimpan rahasia, Marini tak sanggup menyimpan kesusahan seorang diri, Marini tak sanggup menutup mulutnya dan ibu mertuanya adalah tempatnya, mertuanya adalah curahannya dan Marini menumpahkan segala rupa rasa yang terus berkecamuk dihatinya.
Ditatapnya ketiga wajah anaknya yang tertidur pulas di tempat tidur, mereka terlelap dengan wajah polos tanpa tahu bahwa bapaknya sedang setengah mati mencari hidup untuk menghidupi kehidupan mereka. Begitu banyak yang menjadi tanggungan Yogi, begitu banyak tantangan yang harus dihadapi Yogi. Ke depan anak-anak semakin besar semakin banyak biaya yang harus dikeluarkan, untuk sekolahnya, untuk makannya, untuk pakaiannya, untuk hidupnya yang lain, sanggupkah Yogi melampauinya?
0
Panggilan kerja kedua datang dari sebuah rumah makan besar yang ada di mal-mal Jakarta. Sebuah rumah makan cina dengan konsep modern, saking modernnya rumah makan itu selalu menggunakan kolam ikan istimewa, saking istimewa juga itu kolam serasa merepotkan pengunjung yang hendak makan disitu, setiap pengunjung harus melewati kolam yang berlika-liku yang ujung-ujungnya anak kecil yang makan disitu memberi makan ikan dengan nasi yang dia pesan, kemudian si nyonya marah sama baby sitter si anak itu dan disuruhnya anaknya dibawa keluar area tempat makan itu karena dianggap memalukan! Tuh begitu akibat rumah makan ada kolamnya.
Yogi duduk di kursi tunggu yang sudah kusam dengan warna hitam. Yogi melihat karyawan yang hilir mudik dengan wajah tegang dan serba terburu-buru. Ketika lamat-lamat terdengar suara dari dalam ruangan ternyata seseorang dengan logat glodok ditambah dengan bahasa inggris ala-ala singapura yang selalu terdengar membentak-bentak karyawan. Yogi tidak tahu kenapa, yang dia tangkap sepertinya karywan di sini cuma takut sama suara aneh itu.
Seorang perempuan meminta Yogi masuk ke sebuah ruangan agak remang dengan tatanan ruangan seperti diskotik murahan. Diam kembali. Mata Yogi jelalatan kesana-kemari, ada rasa takut juga Yogi berada di ruangan ini. Gimana gak takut? Ruangan ini seperti ruangan rahasia, seperti sebuah ruangan tempat pembantaian manusia satu per satu, dan yang masuk di ruangan itu siap menerima ajalnya. Iihhh! Yogi membayangkan film yang tidak layak tayang karena mengumbar kekerasan disetiap adegan.
“Selamat siang!”
“Siang…”