BAB DUA PULUH TIGA
Rp. 50.000 per HARI
Doa apa lagi yang harus dipanjatkan Yogi kepada Tuhan yang maha kuasa? Semua sudah dikerahkan, puasa senin-kamis, sholat tahajud, sholat dhuha dan segala macam zikir dilaluinya di tengah malam. Hasilnya? Tuhan belum juga menjawab doanya, Tuhan masih mengabaikan atau tidak mendengar doanya? Atau Tuhan lupa bahwa di dunia ini ada orang bernama Yogi Arief yang sedang membutuhkan pekerjaan dan butuh duit banyak untuk membayar cicilan rumahnya, membayar sekolah anak-anaknya dan memberi makan anak dan istrinya. Masa Tuhan lupa? Tidak mungkin! Tuhan pasti tahu, mungkin Tuhan sedang menguji kesetiaan Yogi padaNya?
Sejauh mana Yogi meminta? Seberapa banyak yang diminta Yogi? Dia hanya ingin punya pekerjaan itu saja! Soal penghasilan kali ini soal kedua, yang jelas dia harus dapat pekerjaan tidak menjadi pengangguran. Yogi tak mau menjadi beban moral buat anak-anak dan istrinya yang oleh tetangga dianggapnya pengangguran, betapa malu sebutan itu, meski itu adalah kenyataan.
Hari-hari berada di rumah menjadikan pikirannya kacau-balau, buat anak pertama dan keduanya, bernama Catra dan Cinta yang sudah sekolah, merasa malu punya ayah yang hampir setiap hari berada di rumah tanpa mengerjakan apa-apa. Teman-teman sekolahnya yang melihat Yogi selalu ada di rumah bertanya pada Catra dan Cinta. Mereka tak menjawab hanya diam dan malu. Catra dan Cinta bertanya lagi kenapa ayahnya tidak bekerja?
Yogi berusaha menenangkan hati kedua anaknya yang sudah sedikit mengerti bahwa ayahnya memang tidak bekerja. Kemudian Yogi tersenyum seolah semua baik-baik saja dan semua akan baik-baik saja, tak ada yang perlu disedihkan dan tak perlu dirisaukan, bilang sama teman-teman kalian bahwa ayah kamu banyak uangnya meski tidak bekerja.
Catra dan Cinta menatap Yogi dengan mata yang masih belum dapat penjelasan yang memuaskan hatinya. Yogi tahu itu, dialihkan pandangan matanya ke arah lain untuk menatap anak-anaknya agar menelan saja apa yang menjadi kegelisahannya. Sementara Marini di belakang mengelaurkan air mata dengan segukan yang hampir putus karena menahan tangisnya agar tak terdengar oleh Judit anaknya yang bungsu yang sedang tertidur pulas di kamar belakang sambil dipeluk.
Marini bergetar mendengar Yogi berkata pada Catra dan Cinta, perkataan Yogi seolah semuanya akan baik-baik saja dan semua seakan selesai esok hari di waktu matahari terbit, padahal begitu banyak yang harus diselesaikan. Ada uang cicilan rumah sebesar Rp. 2,7 juta, cicilan kartu kredit sebesar Rp. 800.000 kemudian uang sekolah dua anak sebesar Rp. 1.200.000 berikut antar jemputnya itu yang utama, bagian lainnya bayar listrik, bayar iuran sampah, bayar iuran satpam, bayar telepon. Lalu bagaimana dengan kesehariannya? Makan? sabun cuci, sabun cuci piring, pembersih lantai, pembersih closet, pembersih dapur, pelembut pakaian, pelican pakaian, sikat gigi, pasta gigi, obat kumur, shampoo, deodorant, minyak goreng, gas, lauk-pauk dan segudang kebuthan rumah tangga yang tak terbayangkan, ternyata paling banyak pengeluarannya. Rasanya Marini ingin menjerit jika teringat akan hutang-hutangnya, sementara uang dari pesangon sudah tak dapat lagi dibilang cukup, mungkin akan cukup dalam satu minggu ke depan dengan mengurangi segala macam kebutuhan. Marini mengingat begitu banyak pengeluaran. Yang ada air matanya kembali terjatuh. Karena beras yang ada tinggal untuk satu minggu.
Telepon yang belum terbayar itu berdering, Yogi mengangkatnya dengan malas karena deringnya yang nyaring mengganggu tidur siang Judith anak bungsunya yang berumur tiga tahun.
“Selamat siang….bisa bicara dengan Pak Yogi Arief?”
“Ya…” jawab Yogi seidkit ragu
“Besok bapak datang ke kantor ini jam 11 siang bertemu dengan Pak Sony…”
“Untuk apa mba? Pak Sony?”
“Interview Pak sehubungan dengan lamaran bapak..besok pak jam 11 kami tunggu, cukup jelas Pak Yogi?”
Telelpon ditutup dengan pelan, pikiran Yogi masih bingung rasanya dia tidak pernah memberikan surat lamaran ke perusahaan yang disebutkan oleh perempuan tadi? Dan Sony? Siapa dia?