BAB DUA PULUH LIMA
PARA PENGUASA
Selama lebih dua belas jam Yogi tak mengerjakan apa-apa, hanya diam, melamun, menerawang dengan tatapan kosong melompong tanpa harapan. Kabut kelabu, kabut duka cita, selembar nestapa menggurati wajahnya yang kuyu. Tak seorang pun yang berani menyapanya. Istri dan anak-anaknya tinggal dengan adiknya Diana di rumahnya, sementra Yogi masih tinggal di Bogor di rumah ibu yang sepi tanpa penghuni, hanya dirinya.
Lukisan dan foto masa muda ibu dan bapaknya tergantung di dinding kusam dengan frame yang berdebu. Yogi memandangi wajah-wajah dalam foto, semua berseri, tersenyum dan menyenangkan termasuk foto dirinya ketika di wisuda dan menjadi sarjana kebanggaan ibunya. Tak ada satu pun yang dilewati olehnya untuk menatap foto-foto kusam masa lalu. Baru kali ini perasaannya merasa kosong dan tanpa isi sama sekali, seolah semua rasa hilang begitu saja. Benar apa yang dibilang Rhoma Irama seniman dangdut itu dalam lagunya ‘Kehilangan’
‘Kalau sudah tiada, baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berarti’
Ya, rasa kehilangan itu begitu menyayat pilu dihatinya, seakan berani menghancurkan segala rasa yang dipunyai, tak ada kata yang dapat menjembatani rasa yang sangat pilu ini, selain sikap diam dan merasakan rasa kehilangan itu. Yogi memutar sejarahnya tentang orang tuanya, video kehidupannya yang tersimpan di otaknya, begitu saja keluar dan berhamburan memancarkan butir-butir masa lalu yang berputar-putar persis di depan matanya, seolah kenangan itu baru saja lewat dan baru saja selesai, malah terasa seperti menggantung tak bergeming dari kepalanya.
Yogi adalah Sesuatu buat orang tuanya, sesuatu yang sangat membanggakan, sesuatu yang sangat membahagaiakan dan sesuatu yang sangat didambakan. Betapa tidak? Keberhasilan Yogi menjadi anak sudah dapat dikatagorikan menyenangkan dan membahagiakan orang tua, seharusnya itu bertahan sampai ibu pergi. Tetapi tidak sebelum ibu pergi, Yogi telah melemahkan ibu dengan status menganggur dengan beban yang begitu berat. Ibu tak dapat menerima kenyataan. Yogi merasa amat berdosa.
0
Kerja di ‘tempat’ Pak Sony ini lama-lama membuat sakit kepala. Setelah delapan bulan, Yogi tahu dan faham, kenapa perusahaan ini tidak bisa maju-maju, seperti jalan di tempat dan mundur ke belakang. Rupanya terlalu banyak beban yang harus ditanggung oleh perusahaan ini. Hutang yang menumpuk sekian tahun, baik ke Bank maupun ke investor yang tak pernah dibayar, hutang kepada para supplier yang begitu membebani karena perusahaan ini membutuhkan supplier.
Setiap hari Yogi dan Kasir bernama Tati berperang melawan supplier yang marah-marah karena belum mendapat pembayaran yang sudah jatuh tempo. Para supplier marah-marah seenak-enaknya, marahnya mereka sangat menyakitkan hati bahkan meruntuhkan harga dirinya sebagai seorang karyawan.