BAB DUA PULUH TUJUH
BERTEMU SAHABAT LAMA
Sejak bekerja di perusahaan terakhir itu, Yogi terlalu banyak membuang waktu, betapa tidak? Apa yang dikerjakan tidak sebanding dengan apa yang didapat? Jabatan terakhir sebagai asisten manager hanya bergaji 2,5 juta. Itu pun tak cukup untuk menutupi hutang-hutangnya. Belum tanggung jawabnya yang membuat harga dirinya serasa tergadaikan! Orang-orang yang di atasnya membuat stategi kerja yang ngawur! Bahkan dirinya terlalu banyak berkorban atas kebobrokan perusahaan itu. Hampir setiap hari dari pertama masuk Yogi berada dalam ketidaktentraman dan ketidaknyamanan, hanya karena dia butuh pekerjaan dan uang untuk menghidupi keluarganya, walau itu pun tak dapat mencukupinya. Hanya kesabarannya yang mampu bertahan dengan satu tekad bahwa semua akan berubah dan akan bermasa depan baik. Nyatanya? Lacur!
Haruskah Yogi menyesalinya? Atau bergembira karena berani mengambil resiko meninggalkan pekerjaan yang tidak ada hasilnya? Atau setidaknya dia berani mengambil resiko. Entahlah yang pasti, Yogi merasa lega dan puas, setidaknya Yogi mampu meninggalkan pekerjaan yang tak bermartabat demi harga dirinya dan keimanannya yang dia jaga dengan sebaik-baiknya. Soal masa depan, soal rejeki semua sudah ada mengatur bukan begitu kata orang?
Tapi harus dicari Yo!!...
Begitu kata Ranto tetangganya yang selalu sinis terhadap dirinya.
0
Anak-anaknya yang harus segera didekati dan diberitahu bahwa ayahnya sudah tak bekerja lagi, dan kembali anak-anak harus menanggung malu karena mereka semakin besar dan semakin mengerti. Marini mencoba sabar, apa mau dikata, yang merasakan kerja itu suaminya bukan dirinya, meski menyayangkan namun yang menjalaninya Yogi. Marini tak dapat memaksa. Kalau pertimbangannya pendapatan memang tidak sebanding, dengan gaji segitu, yang hanya cukup menutupi hutang dan kekurangan dimana-mana, apalagi anak-anak sudah mulai besar dan banyak jajan.
Usaha kembali dibangkitkan, semua info lowongan kerja didobrak Yogi dengan setengah mati, meski umurnya sudah tak dapat dibilang muda untuk bersaing, namun Yogi bertekad bahwa itu hanya masalah nasib dan faktor keberuntungan, Yogi meyakini itu semua, nasib? Siapa yang tahu? Meski usaha dan bekal yang cukup siapa berani melawan nasib baik? Itu hanya milik Tuhan.
Hari-hari berlalu, dengan rasa yang tak dapat digambarkan dengan indah dan sabar, hari-hari berlalu seperti padang gersang yang merenggut rerumputan dengan warna coklat yang tak sedap dipandang mata, begitulah gambaran hidup Yogi sekarang, meski anak bungsunya senang karena bapaknya ada di rumah, namun tidak bagi Marini, Catra dan Cinta. Mereka merasakan lain, melihat Yogi yang setiap hari termangu di atas tangga rumah, kemudian tidur dengan gelisah, lalu duduk bengong di depan teras ketika hari menjelang gelap malam sampai ke penghujung malam.