LELAKI DITITIK NADIR

Bhina Wiriadinata
Chapter #30

BAB TIGA PULUH PERNIKAHAN DINI

BAB TIGA PULUH

PERNIKAHAN SIRI

 

Banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan, tapi pikiran yang kacau-balau, banyak rasa yang tak dapat disampaikan, tapi ditelannya sendiri, Yogi tak mau banyak bicara, suka atau tidak suka keputusan sudah diambil, kini apa yang akan terjadi, terjadilah!

Sepanjang jalan yang tak dia kenali, Yogi hanya bisa menggigit jarinya dengan gelisah, pertanyaan-pertanyaan penyesalan bermunculan, rasa bersalah dan belum menerima atas apa yang telah terjadi masih bergelayut di dadanya, ada benih-benih dendam yang kian tumbuh menjalar ke arah seluruh tubuhnya, tidak hanya hatinya yang merasa meletup-letup tapi getaran darah yang mengalir seolah menghantarkan dendam pada kehidupannya itu sampai ke ujung-ujung tubuhnya, kemudian membeku dan meminta untuk menyelesaikannya segera.

Yogi berusaha menahan sekuat yang dia mampu, memendamnya dalam hati yang paling dalam,  maka otaknya yang masih bisa diajak kompromi segera menepis segala kemungkinan yang belum tentu terjadi. Meski pahit atas apa yang dia ambil sebagai bentuk keputusan, Yogi harus bertanggung jawab terhadap keputusan itu sendiri, segala resiko dan akibat yang timbul adalah hal yang harus dia pertanggung jawabkan.

Yogi tak mengeluarkan sepatah kata pun kepada supir gondrong itu, dia hanya berbicara seperlunya saja, paling kalau inign ke toilet baru Yogi bicara ke si sopir, selebihnya bungkam seriba bahasa. Perjalanan yang tak ingin dia ketahui itu tak membuat dirinya ingin tahu, kemana pun si gondrong itu membawanya Yogi tak akan protes. Kalau pun Yogi mau dibunuh sekali pun, Yogi sudah tak perduli, yang dia tahu, meski gondrong tampang si sopir itu baik.

Sampai pada suatu tempat yang Yogi tak tahu dimana dan sudah malam. Mobil berjalan perlahan menembus kegelapan, kemudian menyeberangi sungai dangkal, yang hanya terlihat dari sinar lampu mobil. Lalu mobil berhenti di sebuah rumah yang sama sekali aneh dan si sopir bilang

“Sudah sampai pak…..”

Itulah kata-katanya dalam waktu hampir dua belas jam.

Esoknya…

Sebuah rumah dengan ukuran besar dan bangunan bergaya joglo membuat asing penglihatan Yogi. Rumah yang dipenuhi oleh ornamen ukiran jawa di setiap pintu itu membuat Yogi sedikit mengernyit, Yogi teringat film-film horor ciri khas dalam negeri. Di tengah rumah terdapat kursi dan meja model lama, mejanya dari pualam yang mengkilat. Sisi kiri kanan rumah terdapat kamar yang saling berhadapan, kemudian ada buffet yang berisi gelas, cangkir dengan hiasan bunga-bunga jaman dulu, serta piring kecil-kecil yang senada. Mata Yogi memandang ke segala arah dari rumah ini, yang belum sempat dia lihat tadi malam karena kantuk.

Yogi mengambil gelas, tiba-tiba,

“Mau kopi tuan?....”

Tuan? Yogi memandang seorang perempuan dengan baju daster yang lusuh serta kain yang juga lusuh membelit tubuhnya yang kurus. Yogi mengangguk dan berpura-pura memalingkan wajahnya ke arah lain. Kopi datang lalu diseruput dan terasa tenggorokannya lega.

 Kendaraan mewah tiba-tiba saja parkir dan masuk ke halaman rumah, Yogi agak cuiga karena kendaraaan itu seperti terbiasa masuk dan keluar di rumah ini.

Lihat selengkapnya