BAB TIGA PULUH TIGA
BUKAN REZEKI
Di tengah keheningan malam yang gelisah, Yogi menatap Judith anak bungsunya, diusapnya rambut halusnya yang menutupi matanya yang terpejam, hidungnya yang bangir membuat Judith seperti bidadari yang diturunkan dalam bentuk kecil. Tanda-tanda keindahan perempuan cantik itu, tergambar lewat bibirnya yang merekah, pipinya halus, menggambarkan urat-urat kemerahan dari kulitnya yang putih bersih. Judith tertidur tanpa tahu bahwa di tubuhnya bersarang penyakit mematikan yang setiap saat siap merenggut nyawanya.
Yogi mengusapnya dengan lembut dan penuh cinta, dia ingin menggantikan kesakitan anaknya kalau bisa digantikan. Sambil berkata dalam hati, Yogi meminta pada Tuhan diberi kesembuhan pada anaknya, beri kemudahan pada dirinya untuk membiayainya, beri kekuatan pada dirinya dan Marini menghadapi cobaan ini, lalu air matanya menetes di pipinya yang mulai turun karena usia, hidungnya mengembang menahan derai air matanya, menangisi nasibnya yang semakain memburuk meninggalkan kebahagian. Begitu banyak yang harus dia tanggung, hutang rumah, hutang kartu kredit yang sial, tidak pernah selesai, meski dibayar setiap bulan, sekolah anak-anak yang menunggak, sementara pekerjaan masih belum juga didapat di usiannya yang akan menginjak 40, mungkinkah pekerjaan akan didapatnya? Dan sekarang, cobaan datang lagi dengan tidak mengenal ampun, Judith, anaknya terkena kangker!
Ternyata Tuhan tidak menggubris doa-doanya, ternyata Tuhan tak menghiraukan kesusahannya, padahal Yogi sudah mengerahkan segala kekuatannya, termasuk menyerahkan harga dirinya untuk sebuah ‘pernikahan’ yang memalukan! Agar dia mendapat uang demi keluarganya, demi anak-anaknya dan demi Marini.
Tiba-tiba Yogi teringat soal bayaran ‘pernikahan’ yang belum dia terima, dia harus segera berangkat ke tempat dimana Hans telah menjanjikan untuk bertemu. Sebuah kedai kopi yang pertama kali bertemu dengan Hans. Hari Rabu dia janji bertemu.
“Hari apa ini?”
“Jumat…..” kata Marini dengan bingung
Kedai kopi itu biasa saja, Yogi celingukan melihat tampang Hans, tak ada satu pun tamu yang bertampang Hans atau Jeannette. Telepon Hans tak diangkat, Yogi gelisah, bingung, seharusnya dirinya mengabari Hans bahwa anaknya masuk rumah sakit dan tidak bisa bertemu di tempat dan hari yang sudah disepakati, atau Hans mengabari Yogi kenapa dia tidak datang di tempat dan hari yang sudah disepakati. Ahh, kenapa cuma komunikasi saja jadi seperti ini? Kenapa selalu jadi masalah komunikasi, padahal begitu banyak kemudahan untuk konfirmasi.
Yogi segera bergerak menuju rumah Hans, tak mau pikirannya bercabang-cabang dan membuat dirinya panik jika berandai-andai. Yogi membuat aura positif dan berpikir positif bahwa mungkin saja Hans juga lupa, atau Hans memang sengaja membuat kejutan agar Yogi terlihat panik, atau Hans sengaja mengundang Yogi ke rumahnya dan merayakan kehamilan Jeannette. Perasaan baik itu saja yang terus dia bangun dipikirannya, Yogi berusaha menenangkan diri sepanjang perjalanannya dengan taksi menuju rumah Hans. Tapi ketika di hari terkahir waktu di rumah joglo Hans begitu marah pada dirinya? Akankah Hans membayar janjinya sesuai skenario yang dia buat?
Rumah dengan disain minimalis dan tertutup itu didatangi dengan penuh perasaan sedikit marah. Satpam yang berjaga menghalangi Yogi dengan menghalau, namun begitu satpam itu sadar, bahwa walau baru sekali Yogi datang ke rumah tuannya, namun si satpam ingat bahwa Yogi adalah teman tuannya, Yogi terus memasuki rumah yang sebesar lapangan basket itu dengan langkah tegap dan hati yang berdebar-debar, semakin Hans memasuki rumah, semakin tak ada tanda-tanda Hans muncul dan tak ada siapa pun yang mendatanginya, Yogi hanya diikuti satpam dari tadi masuk dengan mulut tergagap-gagap
“Maaf pak…tuan sudah pergi….”
“Pergi kemana?!”
“Pergi…..ke…..”