BAB TIGA PULUH EMPAT
MEREKA MEMANG ADA
Lalu HP nya berdering lagi dan Iqbal mengangkat lagi, sekarang bukan dengan gaya seperti tadi, Iqbal berdiri dan menjauh dari Yogi, sepertinya Iqbal, tak mau sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya terdengar oleh Yogi, tentang apa yang diucapkannya pada seseorang di HP-nya.
Yogi menyeruput kopi yang dipesannya, lalu menyalahkan rokoknya dan menghembuskan dengan segenap napasnya yang menggebu. Sepertinya Iqbal tidak begitu antusias menerima kedatangannya, seolah Yogi penghalang komunikasinya dan menjegal langkahnya hari ini, sepertinya bertemu dengan Yogi hari ini tidak begitu diharapkan, Yogi merasa tidak enak sendiri, kemudian dia berpikir untuk pergi dan meninggalkan Iqbal saja, dari pada dirinya seperti sebuah vase bunga yang tak berguna dan hanya dijadikan penghalang pemandangan buruk.
Iqbal kembali ke meja dengan senyum yang terpaksa, dia membetulkan kancing kemejanya lalu mengambil rokoknya dan mengisapnya dengan penuh perasaan. Iqbal mengambil kamera HP-nya lalu memoto Yogi dengan posisi yang nyaris sempurna. Iqbal tahu betul dari segi mana Yogi dapat diambil posisinya ketika di foto. Wajahnya yang sedikit kebule-bulean membuat Yogi nampak shinning terkena sinar matahari sore.
“Apa-apaan sih kamu…!” kata Yogi dengan kesal.
Iqbal tersenyum dan mulai mecairkan dirinya, menerima sahabatnya yang sudah sekian tahun tidak bertemu.
“Jadi apa yang bisa kubantu Yo?”
Yogi menatap Iqbal selintas, untuk memastikan bahwa mata sahabatnya bukan mata untuk merendahkan dirinya sebagai pengangguran. Lalu di mengalihkan pandangannya dan sedikit ragu untuk mengatakan sesuatu yang memang dia butuhkan, apalagi kalau bukan soal pekerjaan dan uang!
“Aku memang lagi butuh uang untuk pengobatan anakku terutama, tapi aku butuh kerjaan juga…..”
Kata-kata itu mengambang begitu saja, Yogi tak mau memberatkan pikiran orang lain apalagi sahabatnya, walau pun tujuannya menemui Iqbal tadinya untuk mengadu soal kesulitan dan deritanya tapi melihat Iqbal tak begitu responsif tentang apa saja yang diceritakan, Yogi seolah malu sendiri bahwa mungkin saja Iqbal pun tidak dalam posisi menguntungkan dalam kehidupannya, atau mungkin dia sedang bersandiwara? Tak tahulah yang pasti Yogi tak mau mengemis.
“Untuk uang terus terang aku tidak bisa kasih Yo…tapi untuk pekerjaan saya akan kasih info, tapi….aku takut kamu gak setuju soal pekerjaannya.”
“Bal…apa pun! Apa pun, pekerjaan itu, aku akan ambil! Sekali pun aku harus bergelantungan di atas pesawat, asal jangan kau suruh aku jadi pemulung, tukang beca, sopir angkot, sopir taksi atau apalah, aku tak sanggup, bukan karena pekerjaannyanya, karena aku banyak kelemahannya, jadi sopir mataku tak bisa melihat jauh di malam hari, jadi pemulung aku tak sanggup Bal…”
“Ya gak lah! Mana ada kamu tampang sopir Yo? Apalagi jadi pemulung! Ngawur kamu! Besok aku tunggu kamu di Kemang…ini alamat lengkapnya…”
Iqbal menyerahkan sebuah kartu nama dengan disain indah sekali, berwarna merah maroon dengan siluet gambar artistik. Yogi tahu tempatnya setelah Iqbal menerangkan ancer-ancernya. Iqbal berlalu membayar kopi dan memberi sedikit uang pada Yogi untuk ongkos. Diterimanya uang itu meski Yogi sedikit malu, dalam keadaan begini kenapa harus malu? Asal, malu pun jangan sampai dikorbankan hanya karena jadi kau pengangguran!