BAB TIGA PULUH TUJUH
PENGECUT!
Esok paginya kumpulan lelaki ‘kurang kerjaan’ itu berada di sebuah kolam renang yang sudah dijaga dengan kata-kata private. Semua peserta berenang dengan memakai pakaian renang, yang kalau bisa seminimal mungkin. Mereka tersenyum dan berwajah sangat amat bergembira, mereka saling berangkulan dengan siapa saja yang mereka sukai, lalu mereka saling mengecup seperti burung yang memberi makan anaknya yang masih kecil. Kemudian mereka berenang dengan membuat lingkaran dan menciprtakan air ke wajah yang lainnya, kemudian tertawa-tawa persis anak kecil yang senang bermain air.
Yogi duduk di kursi bersama Ganjar dengan minuman yang tersedia, hanya Yogi yang memakai celana ‘sopan’ dia memakai celana sedengkul dengan menyelimuti badannya dengan handuk. Sementara yang lain, melihat Yogi seolah aneh sendiri. Pandangannya tertuju pada semua yang hadir yang asyik bermain air.
“Kamu tidak ingin mandi Yo?”
Yogi menggeleng membetulkan kaca mata hitamnya dan memastikan bahwa Ganjar tak kecewa.
“Kamu tahu, mereka-mereka itu mencari sesuatu yang hilang dari dirinya, mereka bukan manusia sembarangan, mereka adalah manusia-manusia yang berhasil secara materi dan menampilkan kebahagian dengan keluarganya masing-masing dengan wajah berkesan harmonis, sebenarnya mereka bosan dengan apa yang mereka jalani, mereka muak pada diri mereka sendiri, tapi tidak di sini, lihat sekarang? Apa yang nampak di wajah mereka? Mereka begitu ceria, gembira dan kepuasan terpancar disetiap wajah mereka. Apa yang mereka dapat dengan ini semua? Adalah kepuasan bathin yang tak terbayar dengan harta yang mereka punya, dengan istri yang cantik dengan segala rupa yang mereka punya, tak pernah mereka menikmatinya. Justru di sini, di tempat seperti ini dan dengan sesamanya mereka merasakan kebahagian sesungguhnya, mereka menjadi diri mereka sendiri tanpa embel-embel jabatan, prestise, prestasi, dan segudang jabatan yang mereka punya. Mereka para suami, para lelaki yang bukan mereka bukan sendiri. Mereka adalah penyuka sesama kaumnya sendiri….di sinilah dunia mereka sesungguhnya, termasuk saya….”
Ganjar bercerita dengan sangat halus pada Yogi yang hanya mendengarkan dan memandangi wajah Ganjar dengan rasa prihatin dan memaksa Yogi untuk untuk bersimpati.
“Lalu kenapa mereka harus menyembunyikan di tempat mereka berada? Sementara di sini mereka begitu berani mengekspresikan dirinya? Bukankah itu kemunafikan?”
“Hidup harus munafik! Tak ada hidup yang jujur-jujur saja! Kalau pun harus jujur mereka harus siap menerima segala cemooh dan kehilangan status mereka”
Hari semakin panas, lalu mereka beranjak dari kolam dan siap-siap beranjak ke tempat-tempat yang sudah dibuat skedul, mereka akan bersama-sama pergi ke suatu tempat dan menikmati semua rangkain acara yang mereka sepakati. Kemudian setiap hari mereka akan terus melakukan seperti itu, sepanjang liburan yang mereka ambil dengan cara membohongi keluarganya, bahwa ada acara seminarlah, acara ketemu klienlah, acara bisnis di Bali–lah, dan segudang alasan yang mungkin mereka buat sendiri-sendiri. Hari-hari mereka kemudian diisi oleh kesenangan yang tiada tara, bergaul dengan sesamanya dan menikmati deburan ombak di bibir pantai sambil berangkulan dengan sesamanya kemudian tidur bersama orang yang mereka suka, lalu diulang-ulang lagi hal-hal yang bagi mereka wajar namun bagi yang lain tidak wajar.