BAB TIGA PULUH DELAPAN
LELAKI DITITIK NADIR
Yogi berjalan agak pelan, tiba-tiba saja Dian kakaknya muncul dihadapannya dengan mata merah dan air mata yang masih membasahi pipinya langsung menyerang dengan kata-kata yang tak enak didengar.
“Kamu! Kemana saja kamu!? Ngapain saja kamu Yo!”
Yogi tak menghiraukan dia menatap lurus ke dalam ruangan yang sunyi dan sedikit suram disana, di dalamnya terdapat dua tubuh manusia tertutup kain putih, Yogi bergetar hebat, kakinya seperti tak bertungkai, tulang-tulangnya meleleh, gemetaran ditubuhnya tiba-tiba saja beriringan membuat goncangan yang tak dapat ditahan, tangannya bergetar hendak membuka kain yang menutupi tubuh yang membujur, ketika kain penutup dibuka wajah Marini, pucat dengan goresan luka di bagian kening dan darah yang masih mengalir di dekat kuping, matanya tertutup rapat, dan pecahlah tangis Yogi yang tak dapat ditahan, diguncangkan tubuh istrinya, tangisan Yogi memekakkan telinga setiap orang, sangat nyarirng, dia meraung-raung, menjerit, lututunya tak dapat menahan tubuhnya lagi Yogi menggelosor terjatuh dengan menggenggam uang dan handphone. Tangisnya terus meraung seperti anak kecil yang meminta mainan, air matanya tumpah bagai tanggul yang jebol karena hempasan kekuatan penyesalan dan kesedihan yang tak dapat ditahan lagi. Dibiarkan Yogi meraung-raung dan memukul-mukul dinding untuk menumpahkan tangisannya.
Dada Yogi naik turun dengan dramatis, jauh dari lubuk hatinya, pengkhianatan yang yang dia lakukan pada Marini belum terungkap, tangisan itu mewakili rasa kehilangan dan rasa pengkhianatan yang telah dia lakukan dan belum sempat meminta maaf. Yogi seperti dimasukan ke dalam lubang nan gelap gulita tanpa cahaya dan tanpa udara, usahanya mendapatkan uang dengan caranya membuat petaka yang tak terampuni. Yogi menangis tak berhenti, semua orang yang ada membiarkan Yogi menangis. Dian dan Diana diam di sudut ruang dengan air mata yang berucucuran seenaknya. Lalu diangkatnya tubuh Yogi oleh Dian, Yogi bangkit dan Dian menyibakan satu tubuh kecil yang juga tertutup kain putih, kemudian Yogi menjerit kembali dan meraung-raung dengan guncangan hebat yang tak terperi, kakinya kembali tak dapat menahan tubuhnya, anaknya Judith berada dalam satu kata…Mati!
Yogi sampai tak sadarkan diri, lalu banguun lagi dan kembali tangisnya meraung-raung menagganggu orang-orang disekitarnya dan dia tak perduli. Orang-orang yang mendengar tangisan kematian itu ikut terdiam, memahami betapa seorang lelaki sedang dalam duka yang teramat mendalam ditinggalkan mati oleh istri dan anaknya dalam waktu yang bersamaan. Teriakan penyesalan, teriakan marah dan teriakan kesakitannya dia keluarkan dengan emosi yang begitu dahsyat. Hatinya bukan hanya disayat sembilu tapi lebih dari itu, dia seperti dihantam segala benda tajam yang membalas prilakunya, sakit, sakit bukan main-main, lukanya teramat dalam menjalar keseluruh badannya, ditatap uang ditanganya, lalu dia pukul-pukulkan ke dinding. Tangisannya mewakili dirinya yang terpuruk jauh ke dalam lembah dosa dan nista.
Yogi marah pada yang maha kuasa! Yogi marah, dan bertanya kenapa seperti ini nasibnya? Kenapa begitu jahat Tuhan pada dirinya, belum cukupkah cobaan yang harus dia terima? Pekerjaannya dirampas, kehidupan harmonisnya dicerabut Tuhan begitu saja tanpa persiapan, Yogi mencoba bertahan, namun kemudian Tuhan mengambil orang yang sangat dia cintainya? Marini istirnya dan anaknya Judith? Mengapa Tuhan begitu sadis pada dirinya?
Seorang dokter datang dengan memegang pundak Yogi, ketika tangisnya sedikit mereda. Diusapnya bahu Yogi, Dian dan Diana mendekat sambil memegangi bahu satunya. Yogi menarik napasnya yang terasa mau putus.
“Pak Yogi…semua sudah menjadi keputusan Allah…sabar..sabar…”
Yogi menatap wajah dokter dengan tatapan sinis dan marah.
“Istri anda terjatuh dan kepalanya terbentur ke sebuah pinggir trotoar dengan keras, dia mengalami pendarahan di otaknya, kami tak dapat menyelamatkan karena baru ditemukan setelah dua jam dia terjatuh. Mungkin istri anda juga mengalami depresi berat….”