BAB TIGA PULUH SEMBILAN
LUKA LAMA
Di atas kubur kedua orang yang sangat dicintainya, Yogi memeluk kedua buah hatinya yang masih ada, Catra dan Cinta dipeluknya erat-erat. Kedua anak itu masih terisak-isak seakan tak percaya bahwa mama dan adiknya sekarang sudah terkubur di dalam lubang bernama kuburan. Mereka shock dan mengintimidasi dirinya bahwa mereka ikut andil dalam kematian mama dan adiknya. Yogi berusaha menyadarkan mereka dan dirinya sendiri, bahwa mamanya pergi karena Tuhan sudah memanggilnya, tak ada yang disalahkan dan tak ada yang harus bertanggung jawab. Yogi memegang tanah merah, lalu berbisik dalam hati, dia berjanji untuk tidak membagi dirinya pada siapa pun. Dia akan merawat kedua anaknya, dengan janji yang sepenuh hati, bahwa keduanya akan selalu dalam asuhan dan genggamannya.
‘maafkan aku Mar….aku mengkhianatimu…aku mengkhianati cintamu…..’
Dian menyadarkan Yogi, semua sudah selesai, saatnya kembali dan meninggalkan kuburan orang yang sudah bukan miliknya lagi. Mereka sudah dalam genggaman Tuhan, sudah dipeluk Tuhan dengan damai dan ditidurkan dalam bingkai damai. Sudah bukan milik manusia lagi. Dengan langkah gontai dan muka yang kosong, Yogi merasakan hampa dan nelangsa, raut mukanya kering tanpa sedikit pun pancaran kehidupan, seolah semua kehidupanya sudah terenggut dan tercerabut lalu terbang entah kemana.
“Kami trurut berduka cita…Yo….” Kata Lingga yang menyalaminya lebih dulu, kemudian Toro dan Chandra yang tidak tahu dari mana mereka mendapat kabar bahwa istri dan anak Yogi meninggal. Yogi mengangguk dan menatap ketiga temannya yang tiba-tiba saja berada di rumah orang tuanya di Bogor untuk menyampaikan bela sungkawa. Ingin Yogi bertanya dari mana mereka tahu bahwa istrinya meninggal?
“Kebetulan kami sedang berada di Jakarta untuk menghadiri rapat koperasi perusahaan, kami mendapat kabar bahwa istrimu meninggal Yo….”
Yogi menatap wajah teman-teman lamanya yang sudah nampak tua seperti dirinya. Mereka adalah temannya, yang dulu sangat dekat dan sangat istimewa, sekarang mereka datang, dengan kata-kata duka dan mempertemukan kembali dengan Yogi dalam susana duka. Ketiganya tak banyak bertanya, mereka paham bahwa Yogi sangat terpukul sekali, dari wajahnya nampak Yogi tak bersemangat dan lesu, serta kosong menatap kesemua orang. Yogi tak merasakan apa pun, kerinduan pada rekan kerjanya, pada teman-teman sekampungnya dulu atau ke siapa pun tamu yang datang mengucapkan bela sungkawa Yogi tak perduli, hatinya seperti tak berada di tubuhnya. Yogi seperti seseorang yang sedang membawa bom, yang setiap saat dapat saja dia ledakan sekehendak hatinya. Maka dari itu pada semua tamu yang hadir seolah berhati-hati berbicara dan enggan menanyakan musabab kematian istri dan anaknya yang mati dalam waktu bersamaan.
Lingga, Toro dan Chandra pun seperti bingung hendak berbicara apa? Membicarakan urusan kantor pasti Yogi akan terluka, karena di permasalahan masa lalu yang membuat Yogi terpisah dari mereka. Mau membicarakan hal lain, selain musabab kematian istri dan anaknya Yogi seperti tak berminat, akhirnya mereka hanya diam dan dapat mengerti bagaimana rasanya menjadi Yogi, bagaimana rasanya menjadi orang tua, menjadi seorang ayah, menjadi seorang suami yang mengalamai tragedi yang begitu mengguncang hidupnya dalam hitungan hari.
“Kami pamit dulu Yo…nanti setelah selesai rapat kami usahakan untuk ke sini lagi…sabar Yo…dan ini tidak seberapa dari kami….”
Yogi menerima amplop itu dengan malas lalu disimpan di kursinya, dia berdiri menyalami rekan-rekan kerjanya, tanpa kata-kata dengan wajah kosong dan lelah. Mereka pergi dan Yogi kembali terpaku dalam lamunannya yang tiada henti. Dilamunannya hanya terdapat kata, seandainya, jakalau, kalau saja, andai saja dan semua bentuk perumpamaan yang kalau saja waktu dapat diputar kembali…
Kemudian secara tak sadarkan diri, tiba-tiba saja Yogi jatuh terkapar dan semua orang menjerit termasuk kakak dan adiknya. Yogi tak sadarkan diri. Wajahnya pucat matanya mendelik, tangisan kedua saudaranya dan tangisan anak-anaknya membuat para tamu meneteskan air mata, betapa mereka dapat merasakan kehilangan yang dirasakan Yogi, mereka bisa merasakan betapa cinta itu kini terputus, betapa cinta itu tak dapat begitu saja direlakan kepergiannya.
Yogi dibawa ke dalam dan ditangisi anak-anaknya..
0
Malam ketiga harinya, Yogi kedatangan seorang tamu yang tak terduga. Seorang perempuan kecil dengan jilbab yang sangat tidak pantas dikenakan karena wajahnya seperti tertutup oleh jilbabnya yang kebesaran. Berwajah kampung dengan kaca mata yang juga tidak cocok dikenakan. Berperawakan kecil dengan logat jawa yang medok.
“Saya ingin ketemu bapak….untuk mengucapkan berduka cita pak…”