BAB EMPAT PULUH SATU
HASIL OTOPSI
Semburat matahari di ufuk timur menerangi wajah Yogi yang sudah diborgol, beberapa polisi dan orang-orang yang sibuk sedang mengambil gambar, memasang garis polisi, suata HT yang yang dari tadi terdengar sangat bising membingungkan Yogi. Tangannya yang penuh darah digiring ke mobil polisi yang sedari tadi menunggu penjahat kelas berat yang telah membunuh dua manusia sekaligus dengan kejam. Para wartawan yang datang tanpa diundang segera mengambil wajah Yogi yang tak melakukan perlawanan, Yogi tidak menunduk, dia menatap ke arah kamera lampu, kamera yang menyilaukan wajahnya. Dengan pakaian penuh darah Yogi berjalan tanpa rasa bersalah, sementara tasnya yang berisi perlengkapan tukang bangunan telah disita bersama belati milik Bobby yang kedapatan sedang dia genggam. Orang-orang perumahan yang masih jarang penghuninya itu juga ikut berkumpul, begitu pun para tukang bangunan yang hendak bekerja, mereka heran melihat kejadian pembunuhan ada di sekitar mereka tinggal, sungguh tak menyangka.
Mayat pasangan suami istri yang bergelimang darah itu dimasukan ke kantong mayat berwarna kuning, tim forensik sibuk mengambil benda-benda yang ditaksir sebagai barang bukti dan tidak diperbolehkan, siapa pun masuk serta mengambil barang apa pun yang ada di rumah Berny tanpa terkecuali. Sementara pembantu dan dua anak Berny segera dibawa ke mobil polisi yang sedari tadi meraung-raungkan sirenenya. Anak Berny yang kecil menangsi-nangis, si pembantu dengan gesit memangku anak itu, sedang yang besar hanya menatap dengan heran ada apa di rumahnya? Mata mereka masih kuyu, seperti kurang tidur, padahal sedari Yogi masuk tadi malam, mereka sama sekali tak terbangunkan. Mereka pergi dan meninggalkan lokasi kejadian.
Yogi berada di mobil yang berjeruji, juga meninggalkan tempat kejadian dengan diam tanpa bersuara. Yogi masih berpikir kenapa Bobby melakukan pembunuhan itu? Sedang dirinya? Kenapa berani-beraninya mengambil alih tanggung jawab Bobby yang seharusnya berada di mobil ini dengan tuduhan pembunuhan? sampai mobil itu melaju Yogi tetap tak membuka mulut ketika para wartawan itu mengerubunginya dan menanyainya.
Seorang ketua polisi yang dari tadi gesit memimpin anak buahnya, memerintahkan bahwa semua harus diperiksa dengan seksama, karena dilihat dari kejadian perkara, ini adalah perkara besar yang direncanakan, dilihat dari cara terbunuhnya para korban, dan pembunuhnya sangat keji karena menikam tubuh korban dengan cara sadis, yaitu menusuk korban beberapa kali tanpa rasa tega, sehingga kedua korban mengeluarkan darah yang banyak.
0
Berita itu langsung menyebar ke seluruh penjuru nusatara, berita pembunuhan keji tertulis diberbagai media, semua stasiun TV menyiarkan secara langsung dalam format stop press, bahkan menghentikan tayangan musik yang sudah membosankan itu. Nama pembunuh yang masih memakai nama inisial pun terkuak berkat kelihaian para kuli tinta memborbardir pertanyaan ke polisi. Maka wajah Yogi seketika terpampang dan dalam sekejap saja tenarlah nama ‘YA’ alias Yogi Arief, sebagai pembunuh pasangan suami istri dengan kejam. Seluruh masyarakat menghujat diberbagai media sosial, para artis, ibu rumah tangga, pegawai kantor, tukang sayur, tukang ledeng, para PRT yang genit-genit dengan HP murahan yang yang penuh dengan fotonya sendiri, juga berkomentar, tukang gali kuburan, bahkan tukang gado-gado yang sedang repot melayani pembeli mulutnya sampai berbusa menambah-nambahi keterangannya sendiri. Opini masyarakat segera terbentuk bahwa pembunuhnya harus dihukum mati kalau perlu tanpa pengadilan, itu perbuatan biadab!
Seorang ahli krominologi yang belum mendapat keterangan banyak langsung diterjunkan guna diundang ke stasiun TV untuk diminta pemikirannya terhadap kasus YA, maka dengan entengnya ahli krominologi itu berbicara, bahwa itu akibat..bla..bla..maka si tersangka merasa bal..bla..kalau ini dibiarkan akan menjadi bla..bla..,Sok tahu! Koran murahan itu bahkan memuat gambar korban yang sedang berlumuran darah tanpa ada rasa was-was, bahwa itu berbahaya, mereka berpikir inilah omzet, sama seperti si kromonolog itu dia pulang membawa duit setelah diwawancara dengan pengetahuan asal-asalan soal tersangka yaitu Yogi Arief.
Dian dan Diana terperangah ketika tahu bahwa adiknya sedang menjadi tersangka pembunuh, anak-anak Yogi segera dijauhkan dari TV, para tetangga melongo mendapati Yogi menjadi pembunuh, baik tetangga yang di Bogor mau pun di rumahnya yang di segel. Telepon berdiring dari teman-teman Dian dan Diana, memastikan apakah itu benar Yogi adiknya Dian atau kakaknya Diana? Kedua kakak beradik itu menutup pintu rumah, karena seketika juga para wartawan itu dapat melacak dimana Yogi tinggal. Ada yang ke rumahnya yang disegel dan menanyakan ke para tetangga tentang siapa Yogi, kemudian tetangga yang ingin tampail di TV dan masuk Koran itu berkoar-koar seolah tahu sekali kehidupan Yogi dan rumah tangganya. Begitu pun rumah di Bogor, para wartawan itu memborbardir pertanyaan yang menyesakkan dada Dian dan Diana, pusinglah kepala mereka berdua seperti dikelilingi anak monyet yang bergelantungan seenaknya.