LELAKI DITITIK NADIR

Bhina Wiriadinata
Chapter #44

BAB EMPAT PULUH EMPAT DEN HAAG DAN 80.000 EURO

BAB EMPAT PULUH EMPAT

DEN HAAG DAN  € 80.000

 

Setelah semalaman tinggal di Bogor, esoknya Yogi pergi hendak menengok rumahnya yang dalam status disegel. Yogi ingin melihat keadaan rumahnya, yang sejak dituliskan disegel, dia belum sempat melihatnya. Dian mengingatkan jangan sampai berbuat macam-macam lagi.

“Cukup Yo…!”

Yogi menatap wajah kakaknya yang berumur hampir lima puluh tahun, tapi masih nampak muda, dengan senyum, Yogi pamitan dan menitipkan anak-anaknya. Yogi berjanji dia hanya ingin membereskan rumahnya. Dengan membawa kunci duplikat ,Yogi pergi. Tiba di rumahnya dengan dada sesak. Rumah ini begitu banyak kenangan dan begitu banyak hal yang menyesakkan dada. Sejak kepindahannya dari Surabaya dan tinggal di rumah ini, kehidupan rumah tangganya tak berjalan mulus, karena selama tinggal di rumah ini begitu banyak kesusahan dan derita yang tak berujung.

Pintu pagar dibuka, dengan hati bergetar, Yogi melangkahkan kaki dan melihat rumput taman yang sudah seperti semak belukar tak terurus. Dinding depan banyak mengeluapas karena air hujan, debu di kaca-depan menempel meminta tolong untuk segera diguyur. Diteras berserakan surat-surat tagihan yang bertebaran dimana-mana, Yogi tak menghiraukan, dia tahu surat-surat itu hanya berupa tagihan yang bernada mengancam. Salah satu kertas promo service AC menghalangi lubang bawah pintu, Yogi mengambilnya dan membaca tag line dari si tukang service AC

‘Lelaki harus bekerja kalau mau dihargai’

Yogi tersentak dengan kata-kata itu, rupanya si tukang service AC itu sengaja memasang tag line di kertas promonya seperti itu, agar dia bisa dapat pekrjaan dari rumah-rumah yang mempunyai AC untuk diservice lewat dirinya.

Yogi membuka pintu rumah dengan hati-hati, lalu semerbak bau pengap memasuki lubang hidungnya. Rumah redup dengan sedikit cahaya dari genteng berkaca di bagian belakang. Yogi merinding, teringat Marini dan Judith. Di sinilah mereka hidup dan meninggalkan dirinya. Sepertinya suara teriakan Marini dan ocehan Judith masih terdengar, Yogi berdiri sebentar menenangkan diri untuk tidak emosional. Ditatap ruangan rumah ke setiap dinding dan ruangan, barang-barang masih berada di tempatnya, tak bergeser dan berdebu, kursi, meja, lemari. Terakhir baju Judith dan Marini menggantung di tempat gantungan. Yogi bertugas menyetrika semua pakain ketika tak dapat lagi membayar pembantu, Marini bagian mencuci. Yogi tak dapat menahan air matanya manakala bau minyak telon yang menyengat hidungnya. Yogi hampir ambruk mengenang anak dan istrinya yang meninggal tanpa pesan dan tanpa diketahui dirinya. Rupanaya minyak telon itu baru tumpah tadi malam atau kemarin, belum mengering sehingga baunya memenuhi ruang belakang.

Yogi terus melangkah, kali ini dia melihat kamar anak-anaknya, di sana masih terhampar selimut yang belum dilipat, bantal dan guling masih berserakan, Yogi menyalahkan lampu kamar, lalu terlihat foto anak-anaknya dengan wajah ceria. Foto-foto itu dia yang menempelkan di dinding yang berwarna hijau dan kuning. Di sebelah kanan dinding kamar ada foto-foto klub bola liga Inggris milik Catra, sementara sebelah kiri gambar-gambar princess milik Cinta, serta gambar boneka Barbie milik Judit yang sudah mengelupas lemnya. Di situ ada coretan-coretan Judith yang berwarna-warni menggunakan krayon. Yogi tak tahan, dipegangnya gambar itu seolah Judith ada di situ, Yogi menangis dan sangat amat menyesal tak bisa menyelamatkan anaknya, meski dia sudah berkorban segalanya, termasuk mengorbankan dirinya pada Hans dan pada Ganjar. Namun semuanya sia-sia dan tak ada gunanya.

Semakin menangis, manakala dia membuka lemari yang tanpa sengaja berhamburan baju-baju Judith yang ditinggal di lemari oleh Diana dan belum sempat dibereskan oleh Marini sebelumnya. Yogi mendekap baju-baju itu, terduduk menangisi anaknya yang sekarang ini sangat dia rindukan, amat sangat rindu. Dalam hatinya yang paling dalam Yogi menyebut nama anaknya.

“Papa kangen naaakk….papa kangen Judith…maafkan papa nak….”

Yogi memeluk kembali baju-baju itu, lalu dirapihkan dan diciuminya lagi, kemudian dimasukan ke lemari. Yogi bangkit, mengusap air matanya. Dadanya benar-benar sesak, sesesak nasibnya yang kian membiru. Yogi kemudian ke kamarnya, dia menahan napas menatap ranjangnya bersama Marini, bau apek dan bau debu bercampur, Yogi melihat meja rias Marini, banyak peralatan Make Up Marini yang kosong, Yogi merasa berdosa karena Marini hampir tak pernah membeli alat make up yang dia suka selama masa penganggurannya. Sakit rasanya, Yogi tak mampu membelikan kebutuhan istrinya. Yogi mengambil botol parfum milik Marini yang hanya tinggal satu semprotan, lalu dissemprotkan ke tangannya dan mengalirlah bau harum aroma bunga-bunga, bau itu mengingatkan bau Marini yang khas. Yogi tak tahan, kenangannya membuat dirinya seperti berada di dekat Marini dan sangat dekat sekali, sepertinya Marini hadir dan mengusap pipinya seperti kebiasaannya pada Yogi, tangannya seperi benar-benar menyentuh, lalu Yogi merasakan sesuatu melayang-layang, ketika Yogi membuka matanya dia menangis pilu, sepilu-pilunya, Yogi sangat amat terluka bahwa dia telah begitu banyak mengkhianati istrinya, Marini dengan ketidaktahuannya tetap membelai pipi Yogi dengan lembut, kala Yogi selesai melakukan perkawinan sandiwara dengan Jeannette.

Yogi kembali merasa lunglai, lututnya gemetar seolah semua serba hitam dan Marini menjauh meninggalkan dirinya dengan keikhlasannya yang dipermainkan Yogi tanpa Marini mengetahuinya. Yogi seperti ditusuk sembilu yang paling runcing dan mengenai hatinya yang kotor. Yogi terisak sambil mencium parfum Marini yang begitu dia cintai. Air mata mengalir mengingat kesakitan nasib yang tak berpihak padanya.

“Assalmualikum…Pak Yogiii…!”

Lihat selengkapnya