Sardi
Orang bilang aku memang tampan dan sudah pasti akan tumbuh menjadi pemuda yang banyak diminati oleh para wanita. Aku pikir mereka ada benarnya juga. Perlu kau tahu, aku mewarisi ketampanan dari paras bapakku yang juga memiliki wajah yang rupawan. Nama bapakku Sadeli. Konon, ketika bapakku masih bujang, beliau menjadi rebutan para gadis desa. Banyak para gadis yang berharap menjadi dermaga cinta Sadeli yang gagah dan menawan. Hanya saja, Sadeli melabuhkan cintanya pada seorang gadis sederhana, dengan tampilan sederhana bahkan dengan rupa yang juga sederhana. Perempuan sederhana itulah yang kini menjadi ibuku dan dari rahimnyalah hadir lima anak yang semuanya perempuan kecuali aku. Gadis beruntung itu bernama Sumi.
Banyak orang yang bilang bahwa bapak dan emak pasangan yang sangat tidak serasi bak Arjuna yang bersanding dengan gadis jelata. Tapi apa peduli bapakku? Dia tidak peduli dengan gunjingan orang-orang. Bapak benar-benar telah memegang pepatah yang berbunyi, 'Anjing menggongong kafilah berlalu.'
Nenek dan kakek dari pihak bapak tidak setuju anaknya menikah dengan Sumi. Mereka menganggap bahwa Sumi tidak sebanding dengan Sadeli. Tapi bapak bisa menentukan hidupnya sendiri karena dia seorang lelaki yang tidak bisa didikte oleh kemauan orangtua. Bagi para lelaki, campur tangan orangtua tidak terlalu mendominasi hidupnya. Beda halnya dengan kaum hawa yang bahkan soal urusan pasangan hidup pun seringkali ditentukan oleh orangtuanya dengan dalih 'orang tua lebih tahu mana yang terbaik untuk anaknya.'
Sumi pernah dilanda gamang. Dia tahu bahwa dia tidak layak untuk Sadeli sehingga dia meminta Sadeli untuk melepaskannya, mengubur semua kisah cinta yang pernah ada diantara mereka. Dia tidak ingin menjadi bahan tertawaan, gunjingan dan candaan orang.
"Kita tidak setara, Kang," begitulah Sumi beralasan. "Lagi pula aku tidak ingin menjadi bahan gunjingan orang-orang."
Sadeli mendengus, "Apa peduliku dengan kata orang. Mereka begitu heboh dengan urusan hidup orang lain seakan-akan tidak ada lagi yang pantas mereka bicarakan selain kehidupan pribadi orang."
"Tapi kang..."
"Sudahlah, kau jangan berpikir macam-macam. Cinta kita berdua tidak pernah bisa didikte oleh keinginan orang lain. Mustahil kita bisa menyenangkan semua orang di dunia, Sumi," hibur Sadeli.
Hingga akhirnya pernikahan Sumi dan Sadeli digelar. Orangtua Sadeli mengalah dengan semua keinginan anaknya. Pun pada akhirnya semua komentar tak mengenakan dari orang-orang hilang seiring dengan berjalannya waktu. Tahun demi tahun silih berganti, cinta Sumi dan Sadeli semakin kuat dan terjalin kokoh. Bahkan Sumi pernah berpikir bahwa amatlah mustahil jika cinta Sadeli hilang atau paling tidak memudar. Ketika dia melihat pasangan yang bercerai, dia tak memelihara rasa khawatir tentang nasib rumah tangganya. Karena dia pikir bercerai adalah satu kata yang mustahil.
Tahun pertama lahir Saripah, kakak perempuanku yang pertama. Di tahun ketiga, lahirlah Latipah, kakak perempuanku yang kedua. Setahun setelahnya aku lahir dari rahim ibu. Dan tiga tahun berturut-turut, lahir dua adik perempuanku, Rita dan Rina.
Hingga pada akhirnya Tuhan menakdirkan satu episode yang tidak pernah kami duga sebelumnya. Bahkan tidak pernah Emak duga. Bapak selingkuh dengan janda kembang dari kampung tetangga yang baru ditinggal mati suaminya setahun yang lalu.
Pada mulanya Emak tidak ambil pusing dengan semua tingkah bapak. Atau barangkali pura-pura tidak ambil pusing? Karena dari dulu, Emak sudah tahu diri bahwa dia tidak layak untuk bersanding dengan Sadeli. Bahkan dinikahi Sadeli dan mendapatkan lima anak dari hasil pernikahannya itu sudah menjadi hal yang harus Emak syukuri.
Para tetangga dan teman silih berganti mendatangi Emak untuk melaporkan atau bahkan membual tentang perilaku bapak. Entah mana yang benar dan entah mana yang bualan. Emak tidak bisa membedakannya.
"Saya kemarin melihat Kang Sadeli berduaan dengan si Ruqoyah di pasar Rebo, Teteh," lapor Iyeng ketika dia datang untuk meminjam dulang untuk membuat opak.
"Ah, masa sih," timpal emak dengan wajah yang tidak menyiratkan keterkejutan. Tapi aku sangat yakin bahwa saat itu hati Emak sudah retak.