SARDI
Sejak perceraian itu, bapak tidak pernah peduli lagi dengan kami. Sementara kami memulai kehidupan kami dengan episode yang sangat menyedihkan. Kami mengontrak rumah yang sederhana sebagai tempat tinggal. Kakek dan nenek dari pihak Emak sudah membujuk Emak untuk tinggal bersama mereka. Tapi emak tidak ingin merepotkan kakek dan nenek. Emak tahu bahwa kedua orangtuanya juga hidup dalam garis kemiskinan. Kondisi keduanya setali tiga uang dengan kondisi yang kami hadapi.
Sejak perceraian itu, secara otomatis tidak ada lagi uang yang masuk ke dompet Emak. Bapak barangkali berpikir bahwa dia tidak lagi punya kewajiban untuk memberikan nafkah kepada Emak. Tapi kami? Mungkin untuk urusan pasangan hidup, bapak bisa mengatakan emak sebagai mantan istrinya. Tapi bagaimana pun juga tidak ada istilah mantan anak. Kami tetap anak-anak Bapak yang memiliki hak penuh untuk mendapatkan nafkah.
Pada mulanya Emak masa bodoh dengan sikap Bapak. Emak berusaha memenuhi kebutuhan kami sekeluarga dengan mengerjakan apa pun yang bisa Ema lakukan. Emak bukan hanya sebagai ibu yang memberikan kasih sayang dan pengayoman, tapi juga sebagai tulang punggung keluarga yang bertanggungjawab penuh atas kesejahteraan kami semua. Emak mencoba mengais rezeki dengan banyak jalan. Emak sering menjadi buruh tani di sawah Pak Haji Maskur dengan bayaran seadanya. Jika bukan musim tandur, Emak biasanya bantu-bantu di rumah Haji Maskur, entah masak atau menyetrika baju. Hasil keringat Emak bisa mencukupi kebutuhan perut anak-anaknya meski dengan menu yang seadanya. Tapi lebih sering kami merasa kekurangan. Terutama dalam urusan bayaran uang sekolah.
Untuk alasan itulah Emak selalu datang ke rumah si janda untuk meminta Bapak supaya memikirkan biaya makan dan sekolah anak-anaknya.
“Kang Sadeli mana?” tanya Emak kepada si janda yang belakangan aku ketahui namanya Ros, kependekan dari Rosalinda. Namanya persis seperti nama tokoh telenovela Meksiko yang biasa aku tonton bersama teh Saripah di televisi.
“Kang Sadeli sedang tidak ada di rumah. Dia lagi kerja!” jawab Ros dengan intonasi yang ketus. “Ada apa kemari?”
“Tolong beritahu kang Sadeli, si Saripah lagi butuh uang untuk bayar uang sekolah. Si Latipah juga bilang lagi butuh uang untuk study tour ke Jogja,” terang emak kepada Ros.
Ros mengangguk-anggukan kepalanya. “Ya sudah, nanti saya akan sampaikan ke Kang Sadeli.” Tak berapa lama, tiga anak Ros berdatangan dari halaman sembari berceloteh riang gembira. Mereka sangat terlihat montok, sehat dan terawat. Baju yang dipakai oleh ketiga anak itu juga terlihat keren dan baru. Emak hanya bisa mendesah dan mengeluh di dalam hati. Dia teringat tentang rengekanku yang memintanya untuk membeli seragam baru di pasar Rabu karena seragam yang lama warnanya sudah pudar. Sementara Teh Latipah harus berpuas diri memakai baju bekas Teh Saripah. Sementara aku, tentu saja aku tidak bisa menikmati baju lungsuran dari kakak-kakakku karena aku seorang lelaki, sementara mereka perempuan. Jadi, boleh dibilang aku istimewa. Tapi apa gunanya aku diistimewakan sebagai anak lelaki satu-satunya, sementara Emak tidak bisa memenuhi kebutuhanku untuk membeli kebutuhan sandang. Bahkan, justru aku berpikir bahwa aku harus membantu Emak mencari uang sehingga kami semua bisa makan.
“Tolong beritahu kang Sadeli ya, Ros. Soalnya saya lagi butuh uang untuk anak-anak saya,” ujar Emak untuk kedua kalinya sebagai penegasan supaya Ros tidak lupa.
“Iya!” jawab Ros dengan nada ketus yang sama.
Emak pun pulang dengan membawa harapan semoga Bapak besok akan datang membawa uang untuk kebutuhan kami. Tapi Bapak tak pernah datang ke rumah kontrakan kami. Dia seakan-akan sudah lupa tentang masa lalunya yang telah dia habiskan bersama kami. Kakek dan nenek dari pihak bapak juga sama-sama tidak peduli terhadap kami.
Pernah sekali nenek dari pihak bapak datang untuk memberikan beras dan baju baru ketika lebaran tiba. Dan setelah itu, dia tidak datang lagi.
***
Jika dahulu kami sering makan enak, sekarang kami terpaksa harus merasakan pahitnya rasa lapar. Seringkali emak menjatah nasi di piring kami karena emak harus tetap menakar beras yang kami masak dalam sehari. Tiga cangkir nasi itu harus cukup untuk makan kami berenam. Emak menjatah satu centong untuk satu orang dengan lauk ikan asin.
Terkadang, jika tidak ada ikan asin, kami hanya makan dengan minyak jelantah bekas menggoreng ikan asin atau bahkan hanya dengan garam. Bagiku, menu sederhana itu tidak menjadi soal. Yang penting perutku tetap selalu terisi dan tidak kelaparan. Hanya saja, kami tidak pernah merasakan rasa kenyang. Karena satu centong itu bukan takaran yang pas untuk mengenyangkan perut kami. Kami juga sering merasa lemas ketika di sekolah. Bahkan Teh Latipah sempat pingsan dan diantar pulang ke rumah ketika ikut upacara bendera di hari senin. Konon saat itu Teh Latipah tidak sarapan karena memang persediaan beras kami habis.