Entah kenapa, aku selalu dengat dengan sosok emak. Emak adalah sosok yang paling aku kagumi dan aku sayangi dalam hidupku. Karena hanya Emaklah yang selalu memahami dan mengerti diriku. Sementara bapak? Menyebutkan namanya saja aku sudah mual dan tiba-tiba rasa benci itu menyeruak di dalam hatiku. Aku tidak suka Bapak dengan sikap keras kepalanya. Aku tidak suka Bapak dengan kekasarannya. Aku tidak suka Bapak dengan semua sifat lelakinya.
Bapak juga tidak pernah mengerti diriku. Aku masih ingat, ketika usia tujuh tahun aku terjatuh dari pohon mangga dan kakiku terkilir. Aku meraung-raung karena kesakitan.
Apa yang Bapak katakan? Dia bilang, “Lelaki itu harus kuat, jatuh dan terkilir itu bukan masalah besar. Jangan menangis!”
Sementara Emak datang dengan tergopoh-gopoh, menghiburku dan menciumiku. Dia bilang, “Sardi kuat. Sardi anak Emak.”
Emak selalu menguatkanku, tapi dengan kasih sayang. Sementara Bapak mencoba membentuk kepribadianku bukan dengan kasih sayang. Untuk alasan itulah aku lebih dekat dengan Emak.
Aku terkadang merasa iri terhadap teman-temanku yang begitu amat akrab dengan bapak mereka. Aku pernah berkunjung ke rumah Sendi untuk mengerjakan PR matematika secara berkelompok. Waktu itu kebetulan bapaknya Sendi ada di rumah. Aku melihat sendiri bagaimana Sendi dan bapaknya melontarkan candaan satu sama lain layaknya dua orang sahabat. Aku bertanya-tanya di dalam hati, 'Kok ada ya seorang bapak yang bisa sangat akrab dengan anaknya?'
Tapi itu bukan pengalaman satu-satunya dimana aku merasa iri terhadap Sendi. Di saat yang lain aku iri pada Sendi dan teman-teman lainnya yang memiliki ayah penuh cinta. Aku pernah melihat teman-temanku diantar oleh ayahnya ke sekolah ketika kelas satu SD. Aku sering melihat beberapa temanku dijemput ayahnya. Aku juga sering mendengar cerita teman-teman yang diberi hadiah ini dan itu dari ayah mereka. Mereka bilang, 'Ayahku begini, ayahku begitu.' Semua memuji ayah mereka dan memperlakukan ayah mereka layaknya pahlawan dan superhero. Sementara aku? Bahkan tak pernah sekalipun Bapak datang ke sekolah untuk mengambil raporku. Selalu Emak yang melakukannya. Sampai-sampai ada yang mengira kalau Bapakku sudah meninggal dunia.
Kebencian kepada bapak semakin membuncah ketika Bapak mulai berprilaku kasar kepada Emak. Kemudian kebencian itu naik beberapa point ketika aku tahu bahwa bapak selingkuh dengan janda beranak tiga bernama Rosalina. Dan kebencian itu semakin sempurna ketika aku tahu bahwa bapak menceraikan Emak demi menikahi janda sialan itu. Sungguh, kebencian yang purna. Semoga aku bukan termasuk anak terkutuk karena kebencian itu.
Itu baru ceritaku tentang bagaimana hubunganku dengan Emak dan Bapak. Aku belum menceritakan kepadamu tentang bagaimana interaksiku dengan saudari-saudariku. Sebagaimana yang kau tahu, aku adalah satu-satunya makhluk bernama lelaki dari kelima anak Emak dan Bapak.
Sewaktu kecil dulu, Teh Saripah selalu mengajakku untuk bermain boneka. Dia sangat lihai melipat kain sarung sehingga berbentuk boneka. Aku pun mencontoh apa yang Teh Saripah lakukan.
“Kita main peran yuk dek,” Kata Teh Saripah waktu itu. “Kakak jadi emak si bayi, kamu jadi suaminya.”
“Nggak mau. Aku nggak mau jadi suaminya. Aku jadi bibinya aja,” protesku.
“Lho, kenapa? Kamu kan lelaki?”
“Aku nggak mau. Aku juga ceritanya mengandung. Nanti punya anak,” seruku sembari memasukan boneka sarung ke dalam kaus belelku sehingga perutku membuncit. Teh Saripah tergelak demi melihat tingkahku.
"Ya sudah kalau begitu. Kamu nanti melahirkan bayi, Teteh yang jadi parajinya," timpal Teteh. "Anggap saja suami Teteh meninggal dan kamu adiknya Teteh."
"Kan emang adiknya Teteh, kan?"
Ketika Teh Saripah dibelikan boneka Barbie dengan rambut blondenya oleh Bapak (ini terjadi sebelum perceraian Emak dan Bapak), aku juga meminta benda yang sama kepada Bapak.
“Pak, aku juga ingin dibelikan boneka seperti yang punya Teh Saripah itu,” rengekku kepada Bapak kala itu.
Bapak mendengus dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kamu kan lelaki. Masa anak lelaki mainannya boneka. Nanti bapak belikan kamu mobil-mobilan.”
Aku tidak protes dengan apa yang bapak katakan. Meski aku menyukai boneka Barbie yang cantik itu, aku tidak mau membantah bapak. Sudah berkali-kali bapak bilang bahwa anak lelaki itu tidak pantas main boneka. Apalagi boneka Barbie.
Akhirnya, pekan selanjutnya bapak datang dengan membawa satu set mobil-mobilan. Yang satu mobil bus, yang satunya lagi truk pengangkut pasir. Mirip seperti yang dimiliki Supar, sahabatku.
Tapi, pada akhirnya nasib kedua mobil-mobilan itu berakhir menyedihkan. Aku jarang memainkan mereka. Aku lebih sering meminjam boneka Teh Saripah daripada bermain mobil-mobilan.
“Teh, boleh pinjem bonekanya, nggak?” tanyaku kepada kak Sarifah.
“Teteh lagi mainin. Nanti aja kalo Teteh sudah bosan. Lagian kan kamu punya mobil-mobilan,” kilah Teh Saripah sembari menyisir rambut pirang boneka barbienya.
“Bosen main mobilan melulu,” elakku kemudian.
“Ya sudah, nih, kakak mau main dulu ke Rumah Lena. Hati-hati ya, nyisirnya jangan kasar, nanti rambut barbienya rontok.” Teh Saripah menyodorkan barbienya kepadaku.
“Iya Teh,” jawabku dengan antusias. Sementara Teh Saripah pergi ke rumah Lena, aku mulai asyik memainkan dan menyisir rambut Barbie. Kemudian aku mengganti bajunya. Aku suka sekali dengan corak baju boneka Barbie yang lucu dan warna warni.
Hingga tak berapa lama kemudian aku mendengar teriakan Supar di luar.
“Sardi! Sardi! Kita main mobil-mobilan yuuuk,” teriaknya dari luar pagar.
Aku pun segera beranjak ke ambang pintu. Kulihat Sardi sudah datang dengan membawa mobilan truk yang dia tarik dengan seutas tali.
“Ayo main mobilan. Di depan rumah Rendi ada gundukan pasir. Kita main angkut-angkutan pasir. Seru lho,” ujar Rendi.
“Aku nggak mau main, Sup. Malas,” jawabku kemudian.
“Kalau begitu, aku pinjam mobilan bus kamu ya. Aku mau main sama Rendi.”
“Ya sudah, ambil saja,” jawabku sembari menunjuk mobilan yang teronggok di halaman. Supar pun tersenyum senang. Dia membawa mobil-mobilanku dari halaman depan dan ngeloyor pergi. Tampaknya dia tidak sabar untuk bermain mobil-mobilan di halaman rumahnya.
Sementara aku kembali ke dalam kamar dan asyik bermain boneka dan mencoba semua baju boneka yang dibikin Teh Saripah. Teh Saripah sering membuat baju-baju Barbie bersama Teh Latipah. Mereka menggunting kain sisa dan menjahitnya sendiri untuk baju si Barbie lucu.
Teh Latipah juga suka bermain bola bekel. Aku suka permainan itu. Aku tidak peduli meski Supar pernah bilang bola bekel itu permainan anak perempuan.
“Sup, mau ikut main bola bekel nggak?” tanyaku kepada Supar setelah kami bosan bermain mobilan di halaman depan. Sebenarnya aku yang bosan bermain, Supar masih semangat mendorong-dorong mobil-mobilan di atas tanah. Karena aku berhenti, dia pun ikut berhenti dan kami duduk di teras depan.
“Bola bekel kan mainan perempuan, Sar," ujar Supar.
Sejak saat itu, aku tidak pernah mengajak Supar bermain bola bekel dan aku malu jika bermain bola bekel di hadapannya. Tapi aku menyukai permainan itu bersama Teh Latipah dan Teh Saripah. Ini duniaku yang tidak bisa digugat oleh siapa pun. Toh Emak juga tidak mempermasalahkan hobiku. Begitu juga dengan kedua kakak perempuanku.
Aku juga sering bermain masak-masakan bersama kedua kakakku di halaman belakang. Dengan seperangkat alat memasak mainan, kami meramu daun-daunan yang kami umpamakan sebagai sayuran bak seorang koki handal. Kami akan mencari daun-daunan di halaman dan kebun untuk kami jadikan barang dagangan. Kami berbagi peran sebagai pembeli dan penjual. Kami membuat minyak goreng mainan yang terbuat dari bunga waru yang diremas-remas di dalam air sehingga airnya menguning. Kami menggunakan pecahan genteng untuk alat tukar yang kami umpamakan sebagai uang.