Dua minggu berlalu. Siksaan hukuman itu telah aku jalani dengan hati yang lapang. Mencium aroma amoniak yang menguar dari ruangan WC siswa yang bikin mual tidak menjadi soal. Semua kesialan itu terlihat kecil jika dibandingkan dengan kebanggaan yang aku peroleh karena aku mampu membela diriku dari para pencemooh.
Kau tahu? Sejak aksi perkelahianku dengan Dean di kelas, anak-anak urakan itu tidak lagi berani mengejekku secara terang-terangan. Mereka tidak pernah berani menyebutku sebagai si banci kaleng atau ejekan semacamnya. Tampaknya dua bogem mentah yang aku hadiahkan di dagu dan bibir si Dean cukup menjadi bukti bahwa aku tidak akan pernah rela dihina. Selain itu, mereka harus hati-hati dan berpikir seribu kali untuk meremehkanku. Meskipun selama ini mereka berpikir bahwa aku hanyalah seorang lelaki feminin, pada akhirnya aku bisa membuktikan bahwa di balik sisi feminin yang ada pada diriku tersimpan harga diri yang amat besar. Bahkan aku mampu memukul orang dan membuatnya tak berkutik!
“Eh, Sar, biar lo nggak diejek lagi, lo harus ikutan grup paskibra kita,” saran Ina suatu hari. Seperti biasa, sembari mengunyah bakwan yang dia beli dari kantin sekolah dan dibawanya ke dalam kelas untuk menemani acara gosip ria kami.
“Lho, apa hubungannya jadi anggota paskibra dengan ejekan mereka ke gue?” tanyaku sembari mencomot satu bakwan yang disodorkan Ina, kemudian menggigitnya dengan hati-hati.
“Lo sendiri kan tau, anggota paskibra kita semua macho-macho.”
“Emangnya Sardi bisa?” timpal Santi yang aku sambut dengan pelototan tak suka. Mungkin jika kalimat itu keluar dari mulut si Dean, aku sudah meninjunya untuk yang ketiga kalinya. Tapi ocehan itu keluar dari mulut sahabat dekatku dan aku tahu itu bukan ejekan.
“Ya itu makanya, coba dulu, ngomong kemudian,” timpal Ina sembari menandaskan suapan terakhirnya.
Santi mengangguk-anggukan kepala tanda setuju, kemudian dia beralih menatapku dengan tatapan mata yang penuh arti, “Gimana Sar? Lo tertantang nggak jadi anggota pasukan paskibra. Kebetulan sekarang kan lagi rekrutmen anggota baru.”
“Emangnya perkelahian kemarin nggak cukup buat ngebuktiin kalo gue macho?” tanyaku kepada dua sahabat dekatku dengan memutar bola mata.
“Ayolah, itu nggak cukup. Lo perlu banyak bukti kalo lo tuh emang lelaki sejati,” seru Ina.
“Oke, gue pertimbangan saran lo berdua. Tapi plis, sekarang gue mau fokus makan, lapar nih.”
Setelah Ina menyarankanku untuk ikut paskibra, aku pun mendatangi Kak Sutisna sebagai ketua anggota Paskibra di kantor OSIS yang bersebelahan dengan ruang UKS dan perpustakaan.
“Kak, aku mau ikut paskibra,” tawarku dengan percaya diri.
Kak Sutisna melongok untuk beberapa saat, kemudian dia menatapku dari ujung kepala ke ujung kaki dengan tatapan sedemikian rupa sehingga aku merasa jengah dan deg-dengan. Jangan-jangan kak Sutisna naksir! Oh, kenapa otakku jadi nyangkut disana? Dia kan lelaki, dan aku juga lelaki.
“Kamu yakin?” tanya Kak Sutisna dengan pertanyaan yang artinya ‘aku-tidak-yakin-kamu-bisa.’ Oh, sekarang aku mengerti kenapa Kak Sutisna memandangku dengan tatapan yang lekat dan memindaiku seperti melihat alien nyasar ke sekolah. Dia meremehkanku karena aku gemulai.
“Yakin banget kak. Perlu bukti?” tanyaku kemudian.
“Ya.”
“Buktinya akan kakak liat kalau saya sudah diterima jadi anggota paskibra. Makanya terima saya jadi anggota ya kak, pliss…”