Aku tidak pernah berpikir tentang bagaimana rasanya memiliki bapak tiri. Supar, teman sepermainanku bilang, bapak tiri itu tidak jauh beda dengan bapak kandung. Supar sendiri bilang begitu karena dia juga memiliki bapak tiri setelah emaknya, Bi Sapti bercerai dengan bapaknya Supar, Junaedi. Konon, kedua orang tua Supar bercerai karena Bi Sapti ketahuan memiliki hubungan spesial dengan lelaki lain yang kini menjadi bapak tiri Si Supar.
“Bapak tiri kamu galak nggak Sup?” tanyaku suatu hari, ketika kami tengah mencari jambu batu di bukit belakang rumah sembari mencari sarang burung pipit yang seringkali membuat sarang di rumpun-rumpun perdu. Kami akan mencuri telur-telur burung malang itu untuk kami makan. Tentunya beberapa butir telur Pipit yang kecil tidak akan membuat kami kenyang. Meski begitu, kami selalu mencari telur-telur itu demi menuntaskan rasa senang kami dalam berpetualang. Pada mulanya aku tidak terlalu suka berkelana ke bukit di belakang kampung, tapi Supar selalu mengajakku ikut serta.
Dulu Emak memang selalu melarangku bermain ke rumpun perdu di atas bukit karena khawatir digigit ular. Tapi, sejak usiaku menginjak umur sepuluh tahun, Emak membebaskanku bermain kemana pun semauku. Dan tentu saja, setelah aku membocorkan rahasiaku dengan kang Padna, Emak tak lagi melarangku bermain jauh hingga ke bukit.
“Kata siapa bapak tiri itu galak?”tanya Supar dengan dahi yang berkerut. Sementara giginya yang rompang mulai mengigit jambu batu setengah matang yang beruntung kami peroleh karena belum digasak oleh kawanan kelelawar.
“Kata si Carli, bapak tiri itu galak.”
“Yang galak itu ibu tiri, bapak tiriku baik kok.”
“Emakku juga mau kawin lagi, Sup,” timpalku kemudian. “Sup, itu ada jambu yang sudah kuning di dahan paling kiri.” Tanganku menunjuk dahan jambu yang agak condong ke tepi empang.
“Iya, aku ambil pakai galah bambu,” jawab Supar. “Tadi kamu bilang Emak kamu mau kawin lagi?”
“Iya.”
“Enak dong, punya bapak baru.”
Memang benar, Emak mau kawin lagi. Itu yang Emak bilang kepada kedua kakakku suatu malam setelah mendapatkan kunjungan seorang lelaki asing bertumbuh gempal di siang harinya.
Aku masih ingat, lelaki itu datang dengan senyum yang sumringah. Senyum kikuk pun tergambar di wajah Emak. Penganan berupa kue-kue basah yang dibikin sejak pagi telah Emak sediakan di ruang tamu. Oh, pantas Emak sibuk bikin kue, sampai berhutang ke warung untuk beli tepung dan telur. Rupanya akan datang tamu istimewa di hari tersebut.
Sejak kedatangan pertama itulah, lelaki yang memperkenalkan diri dengan nama Ramli tersebut selalu datang hampir setiap pekan. Dia selalu memberi kami berlima uang jajan. Kedua kakakku mendapatkan bagian masing-masing lima ribu, sementara aku dan kedua adik perempuanku cukup tiga ribu per orang.
“Bagaimana, kalian suka tidak sama Om Ramli?” tanya Emak ketika lelaki bertubuh tegap itu telah pergi dari rumah kami.
“Rita suka mak. Om Ramli baik banget. Suka ngasih uang jajan,” jawab Rita dengan nada sumringah.