Emak mendaftarkan diriku ke sebuah pesantren tradisional di Garut. Walaupun aku merasa berat meninggalkan emak dan saudari-saudariku, tapi aku tidak memiliki pilihan lain. Aku harus taat pada apa yang dikatakan Emak dan aku harus mengikuti apa yang dia inginkan dariku. Termasuk dalam urusan pendidikan. Aku meyakinkan diriku bahwa pilihan emak adalah pilihan terbaik untuk kehidupanku dan masa depan yang akan datang.
“Memangnya hidup di pesantren itu enak mak?” tanya saya kepada emak ketika kami tengah duduk berdampingan di dalam bus kota menuju kota Garut.
“Percayalah kepada emak, pesantren itu sungguh mengasyikan,” emak meyakinkanku dengan senyumannya yang terbit di bibirnya yang pada dasarnya jarang disinggahi senyuman sejak perceraian dengan bapak. Tapi sejak kedatangan om Ramli, senyum emak terbit kembali.
“Memangnya emak pernah mondok di pesantren?” tanyaku.
“Pernah. Dulu emak dua tahun di pesantren. Di pesantren nanti kau akan belajar agama, supaya nanti tidak hanya pintar, tapi juga punya akhlak yang baik dan paham agamamu,” terang emak. Entah untuk yang keberapa kalinya.
Aku pun hanya mengangguk dan dalam benakku terbayang tentang kehidupan pesantren. Yah, mudah-mudahan saja apa yang emak katakan benar adanya. Pesantren yang menyenangkan dan menggairahkan. Itu yang aku harapkan.
Dua jam perjalanan kami tempuh hingga kami tiba di sebuah komplek pesantren yang lumayan ramai. Emak langsung menemui rumah Ajengan. Di pesantren tradisional ini tidak ada ruang sekretariat penerimaan santri baru atau semacamnya.
Emak menemui Ajengan Jalaludin sebagai pengasuh pondok pesantren dan memberikan uang alakadarnya sebagai uang pangkal. Sementara sebelum pulang beliau memberiku uang jajan sebesar lima puluh ribu untuk sebulan.
“Baik-baik kau di pondok, nak,” ujar Emak dengan linang air mata. Aku tahu, emak sangat berat untuk melepaskanku. Tapi mau apa lagi? Toh ini semua keinginan emak dan mengatakan berkali-kali bahwa ini demi kebaikanku.
Aku mengangguk dan mencoba menahan air mata yang terasa mulai berdesakan di kelopak mataku. Ingat kata bapak kandungku dulu, aku lelaki. Aku tidak boleh menangis. Aku kuat. Aku bukan lelaki lemah. Ingat itu, Sardi!
Emak pun melangkahkan kakinya dan tak lagi menoleh ke arahku, meski aku yakin dia sangat ingin kembali menoleh. Ketika emak telah hilang ditelan belokan jalan kecil di depan asrama, air mataku tumpah tak tertahankan.
“Hai, jangan sedih, nanti juga pasti terbiasa,” satu suara membuyarkan rasa sedihku. Cepat-cepat aku menyeka air mataku dengan kasar dan menolehkan kepala kepada sumber suara di belakangku. Seorang lelaki tegap yang lebih tinggi sepuluh centi meter dariku tersenyum lebar. Tangan lebarnya masih bertengger di bahu ringkihku.
“Aku Jalil,” ujarnya memperkenalkan diri. Tangan yang sedari tadi menempel di bahuku mengulur dan meminta salaman. Aku menyambut tangannya.
“Sardi.”
“Jangan sedih. Toh nanti kamu bakalan terbiasa. Semua santri baru pasti mengalami hal yang sama. Percayalah, lama-lama aku pasti betah disini,” hiburnya masih dengan senyuman.
Aku mengangguk pelan dan mencoba tersenyum.
“Ayo, aku tunjukan kamarmu,” ujar kang Jalil. Dia membantuku membawa kardus mie instran yang berisi bekalku dan tas ransel bututku. Aku membuntuti kang Jalil untuk masuk ke dalam rumah panggung asrama. Disana sudah ada beberapa anak seusiaku yang sudah duduk di atas ranjang. sebagian mereka bermata sembab. Hm, mungkin mereka merasakan hal yang sama denganku.
“Nah, disini ranjang kamu. Kamu satu ranjang dengan Farhan ya.” Ujar kang Jalil.
Aku mengangguk dan seseorang yang aku tebak bernama Farhan tersenyum kepadaku. “Jadi, kita satu ranjang. Namaku Farhan. Sepertinya kita bakalan jadi teman yang baik.” Farhan nyerocos sembari mengulurkan tangan. Hanya saja, aku hanya menyebutkan nama dan tidak perlu banyak kata. Aku sedang malas untuk beramahtamah karena rasa sedih berpisah dengan emak.
Jadi, mari aku kisahkan bagaimana kehidupanku setelah di pesantren.
Yah, sebagaimana kau duga, kehidupan disini sangatlah monoton. Aku harus bangun dini hari, satu jam sebelum subuh. Jika kau terlambat bangun, atau susah dibangunkan ketika adzan pertama berkumandang, siap-siap disiram satu gayung air oleh para senior yang membangunkan kami bak sipir penjara terhadap para tahanan. Mereka menggedor pintu keras-keras sampai-sampai kami khawatir pintu lepas dari engselnya.
Setelah bangun, mandi (jika memang kamu tidak malas untuk mandi subuh), dan berpakaian rapi, maka kamu harus segera ke masjid untuk shalat witir dan tilawah quran sampai waktu subuh tiba.
Setelah shalat subuh ditunaikan, kami mendengar tausyiah hingga jam enam. Setelah itu kami kembali ke asrama untuk memasak sarapan kami. Jangan kau pikir menu sarapan kami istimewa. Sudah kubilang kan, pesantren kami hanya pesantren tradisional yang begitu sederhana dalam semua hal, termasuk dalam urusan gizi dan pemenuhan hasrat perut.
Sepotong ikan asin dan tempe sudah cukup bagi kami untuk mengisi perut kami di pagi hari. Biasanya aku dan keenam teman seasramaku bergantian piket memasak di dapur yang terletak di belakang asrama. Aku dan Farhan kebagian hari senin, Aceng dan Asep hari selasa, Salim dan Marwan di hari rabu. Hari kamis kembali jadwalku untuk memasak. Satu pekan kebagian dua kali piket memasak. Belum termasuk piket untuk membersihkan asrawa, toilet, kelas, masjid dan halaman. Dan itu belum termasuk kewajiban pribadi seperti mencuci baju dan menghafal materi-materi pondok yang terkadang bikin aku pusing tujuh keliling.
Yah, setidaknya dengan hidup di pesantren aku semakin dewasa.
Aku menikmati –atau mencoba menikmati- rutinitasku di pesantren. Hanya saja, di tahun kedua aku menemukan kejanggalan. Semua bermula dari kejadian yang mengingatkanku kembali pada ‘permainan rahasia’ antara aku dan kang Padna.
Satu hari, Farhan teman seranjang dan sekaligus teman karibku harus pulang ke kampung halamannya di Tasikmalaya karena bapaknya meninggal dunia. Dia tidak melanjutkan pendidikannya karena harus mengurus emaknya yang sudah tua. Ditambah satu fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa dia anak lelaki satu-satunya sebagai tulang punggung keluarga.
“Aku harus pulang, Sar. Emak dan adik-adik perempuanku sangat membutuhkan kehadiranku. Mungkin aku akan bekerja menjadi buruh panggul,” ujar Farhan dengan nada sedih. Tiba-tiba saja aku teringat dengan emak dan adik-adikku. Andai saja emak tidak menikah dengan Om Ramli, akankah aku memiliki tanggung jawab yang sama sebagaimana Farhan?