Saripah
Aku pikir memiliki ayah tiri itu tidak terlalu buruk dan tidak seburuk punya ibu tiri yang selalu digambarkan oleh cerita-cerita dan dongeng sebagai sosok yang kejam. Om Ramli, eh maksudku Papa, selalu memperlakukan kami dengan baik layaknya anak sendiri. Sejak pernikahan Om Ramli dengan Emak, dia selalu menekankan kepada kami untuk memanggilnya Papa.
“Kok kayak panggilan anak-anak orang kota, ya,” ujar Emak ketika itu, tentu saja dengan senyuman yang menghiasi bibirnya. Senyuman yang selama ini terenggut dari bibir wanita yang aku cintai itu karena beban hidup. Kehadiran Om Ramli yang menjadi suaminya setelah perceraian dengan bapak telah mengembalikan senyuman itu kembali hidup di bibir Emak.
“Masa aku dan Teh Saripah memanggil Om Ramli Papa, tapi kami memanggil Emak dengan panggilan ‘Emak.’ Kan tidak cocok,” protes adikku Latipah.
Baik Emak dan Om Ramli, eh maksudku papa, sama-sama tertawa.
“Ya tidak apa-apa,” timpal Papa dengan senyumannya yang lebar. “Yang penting kalian cinta sama Papa dan Emak.”
Tapi sepertinya asumsiku itu salah. Memang Papa memberikan kami perhatian dengan uang jajan untuk kami anak-anak tirinya, termasuk bekal untuk Sardi yang mondok di pesantren. Memang Papa memberikan Emak uang belanja dan perhatian sebagaimana layaknya seorang suami. Tapi…ada sesuatu yang selama ini aku tutup-tutupi dari kalian. Ada satu perkara yang sulit aku ungkapkan kepada siapa pun, termasuk kepada Emak dan saudara kandungku tentang Papa ‘yang baik hati’ ini.
Kau tahu apa yang terjadi, kawan?
Semua bermula ketika aku mandi di kamar mandi dan lupa menutup pintu. Aku pikir tidak ada siapa-siapa di rumah. Emak sudah pergi ke pengajian, adik-adikku sudah berangkat sekolah. Latipah membantu Wak Nenden menanam padi di sawah, papa sedang berada di gudang. Aku mulai bersampo dan memejamkan mata sembari menelisik kulit rambutku dengan busa-busa. Ketika mataku terbuka, tampaklah satu hal yang paling tak bermoral dan yang paling tak bisa diterima akal sehat.
Di depan sana, dua meter dari pintu kamar mandi yang merangkap WC terpentang aku melihat Papa berdiri menatapku dengan tatapan yang sulit aku tafsirkan. Aku tidak menutup pintu karena aku pikir Papa tidak ada di rumah. Papa menatapku dengan tatapan yang sedemikian rupa. Sorot mata seorang lelaki yang memanggil hasrat terdalamnya.
Aku menjerit dan serta merta menutup pintu WC. Saat itu aku menggigil. Seakan-akan satu keping kehormatan telah terenggut dari jiwaku. Meski dengan tatapan mata, walau sekilas, itu sudah cukup menjadi sebab rasa malu dari noda yang telah ditorehkan lewat rasa. Aku harap itu bukan karena faktor kesengajaan. Aku harap papa hanya lewat selintasan dan terkejut karena melihat pintu WC terbuka sementara aku berada di dalam. Aku harap papa hanya terpana karena terkejut, bukan karena hasrat. Ya, itu hanya harap.
Tapi sejak saat itu, Papa telah berubah. Sejak saat itu, bayangan bapak tiri yang bengis telah menampakan wujud aslinya dari prasangka yang aku coba tenggelamkan semenjak Emak dan Om Ramli menjalin tali pernikahan.
Sejak peristiwa yang menandai tatapan mata tak senonoh dari balik daun pintu WC yang terpentang sempurna, papaku selalu menggodaku layaknya seorang pria lajang kepada gadis yang dia cintai. Itu semua dia lakukan ketika Emak tidak ada di rumah.