Saripah
Waktu berjalan sebagaimana mestinya dan aku akan tetap merasai sendiri semua penderitaan dan siksaan batin yang semakin hari semakin tak tertahankan. Aku menanggung semuanya seorang diri bak seorang pesakitan yang tidak tahu bagaimana caranya membela diri.
Lelaki yang aku panggil papa itu telah menjelma menjadi setan serupa manusia. Wujudnya dia memang manusia sebagaimana manusia lainnya yang makan, tidur dan buang air. Tapi ada setan di dalam jiwanya karena dia dengan mudah dan tanpa pernah merasa bersalah melakukan hubungan terlarang dengan anak tirinya. Ini adalah kiamat bagi hidupku dan aku akan terus menanggungnya entah sampai kapan.
Satu hari yang paling membanggakan untukku (karena aku bisa menolak permintaannya untuk yang kesekian kali), aku mencoba mengancam lelaki yang aku panggil Papa itu supaya dia menghentikan tindakan bejatnya.
“Aku akan mengatakan semua ini kepada Emak!” seruku dengan suara yang nyalang.
“Kau pikir semudah itu, Saripah? Apakah kau tidak menikmati apa yang telah terjadi antara kita berdua?”
Apa dia bilang? Menikmati? Lebih baik aku mati membusuk dan menguap menjadi abu daripada hidup menjadi objek kebiadaban setan yang bersarang di dalam jiwanya.
“Jangan katakan apa pun. Jika tidak, aku akan memukulmu,” ancamnya. Aku tahu dia tidak pernah main-main.
Pada akhirnya aku takut dipukul dan selalu tak berdaya. Aku telah kehilangan jati diriku sendiri. Aku telah kehilangan segalanya. Jika kau umpamakan aku sebagai bunga, maka aku adalah bunga yang layu, bahkan bunga kering dan hampir rontok. Aku tak lagi berbentuk. Lalu apa gunanya hidup jika kehormatan tak lagi tersisa?
“Aku tidak takut pukulanmu, aku akan mengungkap ini semua,” ancamku ketika pukulan aku pikir bukan ancaman yang paling menakutkan dalam hidupku. Dengan pukulan, aku tidak akan mati, kecuali ketika aku dipukul golok di leher.
“Aku akan membunuhmu, kalau begitu.”
Untuk ancaman terakhir ini aku tidak bisa berkata apa-apa. Karena aku masih ingin hidup dan tidak ingin mati begitu saja. Apalagi mati di tangan lelaki durjana semacam Ramli.
Tapi agaknya Tuhan telah menampakan takdirnya dengan begitu rupa, sementara aku tak pernah bisa mengelak dari segala suratan yang harus aku jalani dalam kehidupanku yang penuh drama ini.
Waktu tidak akan pernah mengkhianati apa yang terjadi. Yang pertama kali mencekam hatiku adalah ketika satu hari aku menyadari darah haidhku tidak lagi mengalir membasahi celana dalamku. Aku telat datang bulan. Aku pikir karena aku sakit.
Ya, aku memang sakit. Aku mual. Aku muntah. Aku lemah dan meriang sehingga Emak berpikir aku kena demam berdarah dan memeriksakan diriku ke mantri Desa. Aku diperiksa seperti boneka barbieku yang dahulu aku, Latipah dan Sardi memainkannya. Dulu kami main dokter-dokteran dan berpura-pura si boneka Barbie sakit. Kali ini aku yang diperiksa oleh dokter yang selalu mengerutkan kening itu.
Setelah diperiksa sana sini, dokter itu datang memanggil Emak. “Dia sakit karena sesuatu,” jelasnya. Tampak sekali dia hati-hati untuk mengungkapkannya.
“Sesuatu apa?” tanya Emak dengan perasaan was-was. Dia pikir anaknya benar-benar terkena demam berdarah atau Cikungunya.
“Anak ibu hamil,” bisik sang dokter. Dia tahu aku masih lajang sehingga tentu kabar itu akan membuat emak tersentak kaget bukan alang kepalang.
“Tidak mungkin!”