LELAKI GEMULAI

Husni Magz
Chapter #11

Kembali

Saripah

Sejak kepergian lelaki laknat itu, aku dan Emak kembali ke rumah dengan hati yang tenang sekaligus pedih. Tenang karena pada akhirnya emak mengetahui bahwa lelaki yang selama ini ada bersama kami tak lebih dari seekor serigala buas yang telah terbuka topengnya di hadapan Emak. Sedih karena aku tidak memiliki apa-apa lagi, bahkan masa depan sekalipun. Aku kini tengah mengandung benih yang tidak pernah aku inginkan dan bahkan aku membenci keadaan yang aku hadapi. Aku sangat berharap kandunganku luruh dalam bentuk gumpalan darah sehingga aku tidak jadi melahirkan bayi yang akan mengundang aib dalam sisa hidupku.

Mungkin tidak apa jika aku mengandung hasil dari perzinaan dengan lelaki mana pun di dunia ini. Tapi bagaimana mungkin aku harus melahirkan seorang bayi dari bapak tiri biadab itu. Sungguh ini adalah drama yang paling tragis dalam kehidupanku. Para tetangga berbisik satu sama lain . Mereka membicarakan tentang tragedi ini dengan sudut pandang yang berbeda satu sama lain. Diantara mereka jelas menyimpan belas kasihan kepadaku, karena aku telah menjadi korban lelaki laknat itu. Tapi tak sedikit yang bilang bahwa aku sama jahanamnya seperti lelaki itu.

“Jika memang dia tak suka, kenapa tidak sejak awal dia memberitahukan hal itu kepada emaknya atau polisi,” ujar satu tetangga berspekulasi. Tentu saja mereka tidak tahu apa pun tentang kehidupanku yang penuh drama ini.

“Konon katanya karena dia telah diancam oleh bapak tirinya. Sehingga dia takut untuk melapor,” timpal yang lainnya.

“Ah, masa iya orang udah perawan besar seperti itu masih takut. Lagi pula si Ramli tidak menyeramkan amat. Bahkan sekarang pun dia kabur.”

Tapi aku tidak peduli dengan semua omongan itu. Aku menghabiskan waktuku dengan hati yang hampa dan didera putus asa. Bahkan untuk saat-saat tertentu aku sangat ingin mengakhiri hidupku karena tak kuat menanggung malu. Agaknya menenggak racun tikus bisa membuat nyawaku melayang setelah kejang dengan mulut berbusa. Aku pernah mengetahui hal itu dari tayangan berita kriminal di TV. Tapi tiba-tiba saja aku ingat bahwa ada tetangga kampung yang pernah mencoba hal yang sama. Sayang sekali, orang itu tidak mati, malah masuk rumah sakit dan merepotkan keluarganya dengan biaya perawatan yang selangit. Ah, bukannya mati malah merepotkan Emak. Aku tidak ingin seperti itu.

Apakah aku harus mengiris nadi di pergelangan tanganku atau mengiris leherku sendiri dengan pisau dapur? Ah, aku tidak punya nyali untuk aksi barbar seperti itu. Aku takut darah. Bagaimana jadinya jika aku baru menyayat lapisan luar kulit, tiba-tiba aku berubah pikiran dan berteriak. Nanti malah Emak yang repot. Dan aku malu sendiri karena tak punya cukup nyali untuk menyelesaikan niat bunuh diriku itu.

Hingga suatu hari aku memiliki ide lain ketika berbaring di atas kasur kumalku. Mataku yang menerawang lelangit kamar tiba-tiba berpikir tentang betapa mudahnya menghilangkan nyawa lewat tali tambang atau kain batik yang aku gantung di palang kayu yang melintang di tengah-tengah kamarku. Ah, ini benar-benar ide yang bagus, begitulah pikirku.

Saat itu juga aku tidak berpikir hal apa pun selain harus segera mengakhiri nyawaku. Aku mati artinya semua aib itu akan mati, kecuali aib yang harus ditanggung Emak.

Dengan tangan gemetar, aku segera meraih dua kain batik sinjang yang aku lipat di dalam lemari. Aku menimbang, dua kain yang aku ikatkan itu akan cukup untuk menggantungku di langit-langit kamar. Dengan susah payah, aku naik ke siku-siku dan mengikatkan kain itu ke langit-langit dengan simpul yang kuat. Setelah itu mengambil kursi plastik dan meletakannya di bawah kain yang terjulur itu. Langkah terakhir, aku hanya perlu mengikatkan ujung kain itu ke leher jenjangku, kemudian menyingkirkan kursi plastik itu dengan kibasan telapak kaki.

Tapi, agaknya takdir tidak mengizinkanku untuk mengakhiri hidup. Ketika aku bersiap-siap untuk mengalungkan jeratan kain di leherku, Emak sekonyong-konyong datang dari luar dan menjerit tak karuan.

“Astaghfirullah. Saripah!! Apa yang kau lakukan!”

 Sialan! Aku lupa mengunci kamar. Harusnya aku mengunci pintu sehingga tidak ada seorang pun yang bisa mengiterupsi rencanaku saat ini.

Lihat selengkapnya