Sardi
Hari itu Emak datang ke pondok dengan wajah yang sayu dan penuh gurat kelelahan yang bisa aku lihat dengan begitu kentara. Tidak biasanya Emak datang dengan wajah sayu seperti itu. Lagi pula, ini bukan jadwal kunjungannya. Baru dua pekan yang lalu Emak datang menjengukku dan secepat itu juga dia kembali datang. Aku berpikir, pasti ada yang tidak beres dibalik kedatangan beliau.
“Ada apa, mak? Tumben sekali datang menjenguk dua kali dalam sebulan,” ujarku ketika Emak sudah duduk di ranjangku, masih dengan sorot mata yang sayu.
“Emak sudah kembali ke gubuk kita yang dulu,” ujar Emak. kali ini dia tidak mampu menyembunyikan air mata yang mulai berdesakan di kelopak matanya.
Aku hanya bisa tercenung. Kenapa Emak kembali ke gubuk kami yang lapuk itu? “Apakah Emak bercerai?”
Emak diam beberapa saat lamanya, kemudian menghela napas panjang sembari menerawang ke luar jendela asrama. Setelah itu beliau menggeleng pelan. “Emak tidak pernah berpikir untuk bercerai. Tapi kelakukan bejat bapak tirimu itu membuat Emak harus kembali."
Tiba-tiba saja amarahku menggelegak. Dalam benakku aku bisa membayangkan Emak dipukuli oleh Ramli saban hari. Di benakku ada bayangan Ramli mendzalimi Emak. kini aku benar-benar yakin Emak telah menjadi korban janji manis lelaki itu.
“Apakah dia memukul Emak?”
Emak lagi-lagi menggeleng pelan. Aku semakin tambah heran. Lalu kenapa Emak mau berpisah dengan lelaki itu. Apakah gerangan yang Emak maksud tindakan bejat yang telah dilakukan bapak tiriku itu?
“Apakah Om Ramli itu gembong penjahat atau buronan polisi?” tanyaku lagi dengan penasaran. “Kenapa Emak malah diam?”
“Ya, dia ditangkap kemarin. Polisi sudah memenjarakannya,” Emak menjelaskan. Tapi masih menjadi teka-teki besar. Seakan-akan, Emak segan untuk mengatakannya. Aku berpikir, Emak membawa berita menyakitkan sehingga dia begitu sulit untuk mengungkapkannya kepadaku.
“Katakan yang sebenarnya, Mak,” pintaku.
“Bapak tirimu telah menghamili Saripah!” tegas Emak. Ada entakan nada amarah di suaranya yang lirih. Dia menangis tersedu-sedu.
Ada halilintar dan guntur yang memekakan telingaku. Pengakuan Emak bahkan lebih mengagetkan dibandingkan gelegar guntur di musim hujan. Tidak! Ini tidak mungkin! Bagaimana mungkin seorang bapak tiri bisa menodai anak tirinya. Anak kandung istrinya. Satu bentuk kebiadaban yang tidak bisa termaafkan. Tapi aku tahu Emak tidak bohong. Air mata itu adalah buktinya. Dia pasti hancur sehancur-hancurnya. Pertama, dia hancur karena anak pertamanya dinodai. Kedua, dia hancur karena ternyata yang menodai anaknya adalah suaminya sendiri. Ketiga, dia hancur karena terlanjur percaya pada lelaki bajingan itu.
Aku mendekap Emak dan membiarkannya menangis di bahuku. Teman-temanku sedang berada di ruang kelas sehingga Emak tidak memiliki rasa sungkan untuk menumpahkan segala kepedihannya di hadapanku.