Setiap hari aku selalu disibukkan dengan peluh dan lumpur di kaki. Dari pagi hingga dzuhur aku bekerja di kebun atau sawah orang, jeda sejenak untuk makan siang dan shalat. Jika masih ada kerjakan aku melanjutkan sisa pekerjaan sampai menjelang waktu Ashar. Sementara aku meminta Emak untuk tidak terlalu memforsir tenaganya. Tenagaku lebih dari cukup untuk bisa menggantikan Emak sebagai tulang punggung keluarga.
Pada mulanya aku merasa enjoy dengan pekerjaan yang aku lakoni. Hingga kemudian di suatu sore, Supar datang ke rumahku hanya untuk memberikan kabar yang membahagiakan. Setidaknya dia mengatakan bahwa itu kabar gembira meski aku sangsi dengan apa yang dia yakini sebagai kabar yang bisa membuat aku bahagia.
“Di kota ada lowongan pekerjaan di toko swalayan, Sar. Pokoknya kamu harus coba melamar pekerjaan di sana,” pinta Supar dengan antusias.
“Kamu juga melamar pekerjaan disana, Sup?” tanya Emak yang baru muncul dari ruang dapur kami yang mungil. Emak membawa baki berisi dua cangkir teh manis dan menghidangkannya di depan Supar.
“Tidak, Mak. Saya kan sudah punya pekerjaan di tambang emas. Bulan depan mau berangkat,” jelas Supar.
“Bekerja di tambang dengan menjaga toko swalayan, mana yang paling besar gajinya, Sup?” tanya Emak dengan nada penasaran.
“Ya jelas kerja di tambang gajinya lebih besar. Tapi kerjanya juga beresiko. Harus turun ke lubang galian dan terowongan yang dalam. Tapi saya tak pernah takut. Omong-omong, memangnya kamu mau kerja di pertambangan, Sar?” tanya Supar dengan nada sangsi.
“Entahlah,” ujarku dengan bingung. Jujur saja, di hatiku ada kecondongan untuk bekerja di toko swalayan. Aku membayangkan bahwa aku hanya duduk santai di meja kasir dengan hawa sejuk AC di atas kepalaku. Kemudian otakku beralih dengan imajinasi mengorek-ngorek tanah basah di bawah terowongan dan galian yang sewaktu-waktu bisa saja longsor dan menimbun tubuhku yang ringkih. Aku pernah membaca kasus-kasus yang menceritakan peristiwa longsor di penambangan ilegal.
“Selisih gajinya berapa besar sih, Sup?” tapi mau tak mau aku penasaran dalam urusan gaji.
“Jika di toko swalayan mungkin kamu cuma uma dapat satu juta setengah. Tapi kalau ikut rombongan ke pertambangan, kamu bisa dapat lima hingga tujuh juta, tergantung dari besar atau tidaknya emas yang dihasilkan dari tambang itu,” jelas Supar.
Mataku terbelalak. Mata Emak juga berbinar-binar.
“Kalau begitu, aku lebih baik ikut kamu nambang saja, Sup. Mudah-mudahan ada rezekiku di sana,” timpalku dengan cepat. Aku tidak lagi peduli tentang imajinasi udara pengap, temaram dan timbunan tanah yang sewaktu-waktu bisa saja longor. Semua imajinasi tak mengenakan itu tergantikan oleh tumpukan uang hasil bekerja di pertambangan.