Saripah
Tiga hari setelah penangkapan Ramli, ada beberapa orang yang mengaku wartawan datang ke gubuk Emak dan menanyaiku tentang ini dan itu. Sampai-sampai aku sendiri bosan menjawabnya. Semua pertanyaannya sama dan beragam. Tak jauh beda dari pertanyaan ‘Sejak kapan bapak tirimu memperkosamu, kenapa kamu tidak langsung melapor, kenapa baru melapor setelah hamil, kenapa begini, kenapa begitu. Bla..bla..bla… Sampai-sampai aku sendiri lelah dan tidak sanggup lagi untuk menjawabnya.
Aku tahu, mereka hanya memanfaatkan kasusku dan menjual berita itu untuk kebesaran media mereka. Mereka memanfaatkanku. Mereka bahkan tidak peduli dengan penderitaanku. Atau jangan-jangan mereka menyalahkanku.
Aku sudah tidak tahan.
Suatu hari, seorang wartawan dari surat kabar ‘lampu kuning’ datang ke gubuk kami dan bertanya, ‘Apakah ini rumah Saripah?’
“Bukan!” jawabku dengan garang sebelum Emak benar-benar mengiyakan dari teras depan. aku segera melangkah ke arah depan dan meminta Emak untuk masuk ke dalam gubuk. Aneh memang, akhir-akhir ini aku seringkali tidak bisa mengontrol diriku ketika dilanda rasa kesal.
“Tapi orang bilang ini gubuk Saripah,” ujar lelaki perlente dengan wajah yang ganteng itu. Usianya mungkin sekitar kepala empat, atau mungkin lebih. “Perkenalkan, saya wartawan dari surat kabar lokal. Saya ingin mewawancarai anda terkait musibah yang menimpa_”
“Tidak perlu kang. Lebih baik pulang saja. Saya tidak ingin dimanfaatkan kalian,” sergahku sembari membuang muka.
“Dimanfaatkan? Maksud Teteh?”
“Sudahlah. Yang jelas saya tidak ingin ditanyai ini dan itu. Jika Akang ingin tahu tanya saja ke wartawan yang pernah datang ke sini,”
“Baiklah kalau begitu,” ujar lelaki itu mengalah. “Saya turut berduka cita dengan musibah yang menimpa teteh. Semoga teteh diberikan kekuatan dan ketabahan.”
Kemudian lelaki itu pergi dengan langkah pasti, menenteng kameranya dan berbelok di jalan setepak depan rumah. Aku hanya tercenung heran. Wartawan yang satu ini memang beda dari yang lain. Untuk alasan apa dia repot-repot mengucapkan belasungkawa dan memintaku untuk sabar? Bahkan dengan sabar pun tetap saja penderitaan ini terasa berat bagiku. Ah, sudahlah. Lupakan tentang wartawan sialan itu. Aku hanya ingin tidur.
***
Sudah tiga bulan lamanya si Sardi pergi dari gubuk kami demi mengais rezeki di kota kabupaten. Emak bekerja seperti biasa, menyiangi rumput di ladang orang, atau nandur di sawah orang dengan pulang membawa uang sebagai upah dari keringat yang dia peras. Sementara, adik-adikku kembali sibuk bersekolah. Ketika pagi tiba, emak akan siap-siap dengan dudukuy[1]-nya dan parang di tangan. Adik-adikku sudah siap dengan seragamnya. Tak lupa mengisi perut mereka dengan sarapan ala kadarnya berupa lauk oncom dan semacamnya.
Menjelang siang, aku hanya bisa sendirian di gubuk. Terkadang kesepian datang menyerang. Merenungi nasib dan tak ada yang bisa dilakukan selain tiduran.
Kehamilanku sudah Sembilan bulan. Waktu melahirkan sudah barang tentu semakin dekat. Hanya saja, aku tidak tahu pasti kapan aku akan melahirkan dan bagaimana aku bisa melahirkan. Tiba-tiba saja rasa takut dan khawatir mendera jiwaku. Bagaimana jika kemudian aku tidak mencintai bayi yang aku lahirkan? Karena sampai sekarang pun ada rasa jijik dan benci pada diriku, pada Ramli, dan pada jabang bayi yang kini meringkuk nyaman di perutku. Aku tidak tahu apakah aku bisa menerima bayi itu? Apakah aku bisa mendekapnya layaknya seorang ibu terhadap darah dagingnya sendiri? Aku tidak yakin.
Satu hari, Emak tidak lagi turun ke ladang orang. Dia hanya duduk di palupuh [2]sembari mengupas singkong pemberian Haji Karim tempo hari untuk upah menyiangi sepetak kebunnya yang tak seberapa.