LELAKI GEMULAI

Husni Magz
Chapter #17

Anakku Gila

Sumi

Anak pertamaku benar-benar telah gila. Dia berusaha untuk membunuh darah dagingnya sendiri. Andai aku tidak datang pada waktu yang tepat, mungkin Saripah sudah membunuh Euis, dan untuk alasan itu aku pantas untuk menyesal seumur hidupku. Tapi tampaknya gusti Allah telah menghendaki Euis untuk tetap hidup.

Aku bisa melihat luka, putus asa dan frustasi yang tergambar dari sorot mata putriku. Aku juga mengerti bahwa dia mengalami hal ini karena semua kepedihan dan cobaan yang dia alami dalam hidupnya. Gadis mana yang kuat menanggung aib yang begitu besar karena harus melahirkan bayi di luar pernikahan. Dan yang paling berat untuk diterima oleh akal sehat manusia mana pun adalah kenyataan bahwa bayi itu terlahir karena pemerkosaan yang dilakukan oleh ayah tirinya. Syukurlah lelaki jahanam itu telah mendekam di tempat yang layak bagi semua kejahatannya. Bahkan andai aku dipinta untuk memilih antara hukuman penjara seumur hidup dan hukuman mati, maka aku akan meminta hakim pengadilan untuk menghukum mati lelaki bajingan itu.

“Saripah! Kenapa kau setega itu!” seruku sembari menyeka air mata yang sudah berlinang sedari tadi di kedua kelopak mataku. Bagaimana mungkin aku tidak menangis melihat bayi ini terus menangis setelah dibekap oleh bantal.

“Bagaimana mungkin kau sejahat itu, Saripah. Itu artinya kau sama saja dengan lelaki bajingan itu!” seruku tak sabar. Rasa sedih dan marah bercampur menjadi satu.

Saripah tidak menjawab semua pertanyaanku dan dia bergeming di tempat tidurnya. Rambutnya kusut masai. Dia hanya menunduk dan terisak.

Aku tahu bahwa setelah ini episode kehidupanku dan kehidupan keluarga kecilku yang melarat tidak akan pernah baik-baik saja. Aku hanya menggantungkan harapan kepada Gusti Allah yang memiliki dan menguasai urusan kehidupanku.

Betullah apa yang aku duga, dari hari ke hari Saripah menunjukan tanda-tanda menyedihkan. Dia tidak lagi mau mencoba untuk menyusui Euis dan menolak untuk mendekap bayinya sendiri. Aku pikir ini hanya untuk sementara saja. Kelak, dia akan menerima bayinya sendiri dengan sepenuh kasih.

Tapi anggapanku salah besar. Karena justru aku tidak hanya mengkhawatirkan bayinya, tapi juga mengkhawatirkan ibu sang jabang bayi. Saripah mulai berbicara sendiri, tertawa sendiri dan tak lagi mau mandi.

“Saripah, istighfar saripah…Istighfar…” lirihku ketika melihat Saripah mulai tertawa dan mengikik sendiri di tempat tidurnya. Dia bergumam-gumam tak jelas layaknya seorang dukun yang sedang merapal mantra.

Aku tak kuat melihat semua yang terjadi. Aku segera menidurkan si Euis yang sedari tadi terlelap di pangkuanku ke atas karpet kecil, kemudian aku duduk di samping putriku sembari mengelus-elus rambutnya yang kusut. “Saripah, istighfar. ingat Gusti Allah.”

Lagi-lagi Saripah tertawa, sejurus kemudian dia menangis. Aku ikut-ikutan menangis dan memeluk Saripah dengan erat. Aku takut Saripah sakit jiwa karena tekanan yang dia alami. Dan mungkin saja dia sudah sakit jiwanya. Jika aku melihat tanda-tanda dan gejala yang timbul, sudah pasti orang-orang akan mengatakan Saripah sudah gila.

Lihat selengkapnya