Sardi
Sahab telah membuat episode kehidupanku semakin menggila. Semua bermula dari undangannya kepadaku untuk datang berkunjung ke kontrakannya dengan alasan untuk makan malam bersama. Aku pikir maksud dari makan bersama itu adalah makan bareng-bareng dengan teman-teman lainnya, selain aku dan dirinya. Tapi ternyata hanya kami berdua.
“Aku pikir ada teman-temanmu yang lain,” ujarku kala itu sembari mengedarkan pandanganku pada setiap sisi ruangan kontrakan Sahab yang lumayan besar.
“Aku ngontrak sendiri,” jawab Sahab sembari menghempaskan tubuhnya di sofa yang sudah agak usang.
“Apakah kamu mampu membayar uang kontrakan sendirian?” tanyaku sembari ikut mendaratkan tubuhku di sofa, tepat di samping Sahab. “Ngontrak di sini kan harganya gila-gilaan.”
“Gajiku sudah cukup untuk mengontrak sendiri. Kadang aku malas ngontrak bareng sama yang lain, nggak punya privasi, nggak bisa bebas dan tentu saja selalu ada perselisihan yang timbul dengan sesama teman.”
“Ah, masa sih. itu artinya jiwa sosial kamu kurang,” bantahku dengan nada bercanda. “Aku ngontrak dengan si Ridwan fine-fine aja. Nggak pernah ada masalah tuh.”
“Apa pun alasannya, saya lebih nyaman ngontrak sendiri,” pungkas Sahab. Kemudian kami pun mengobrol kesana kemari, mulai dari obrolan tentang si Bos yang lumayan agak galak, tentang pekerjaan kami di gudang dan distribusi hingga masalah pribadi-pribadi lainnya.
“Kamu sudah punya pacar, Hab?” tanya itu terlontar ketika kami mulai berbicara tentang hal-hal pribadi.
“Belum. Kamu?” Sahab balik bertanya.
“Belum juga.”
“Masa sih lelaki seganteng kamu masih jomblo? Memangnya nggak ada cewek yang nyantol, gitu?” pancing Sahab. Dia seakan-akan penasaran dengan kehidupan pribadiku.
“Belum niat aja,” elakku kemudian. “Kamu sendiri? Apa alasanmu sehingga kamu masih menjomblo?”
“Alasannya sama seperti yang kamu bilang,” jawab Sahab sekenanya.
Malam itu kami makan nasi liwet yang dibikin Sahab dan sengaja membuat ayam penyet spesial. Bahkan aku baru tahu jika Sahab sangat piawai dalam memasak.