Sumi
Semakin hari, kondisi Saripah semakin memburuk sekaligus mengkhawatirkanku. Dia semakin sering tertawa dan menangis sendiri. Sesekali dia keluar dari rumah di pagi hari dan baru akan kembali ketika menjelang senja. Dia sudah tidak lagi peduli dengan bayinya sendiri. Bahkan mungkin dia tidak akan pernah peduli dengan Euis. Aku tidak mau memaksanya untuk menyusui bayinya. Aku juga tidak tahu bagaimana caranya untuk membujuk Saripah supaya dia bisa dan mau menyusui anaknya sendiri.
Aku sudah menyerah dan putus asa sehingga sebagai jalan terakhir aku hanya bisa menyusui Euis dengan air perasan rebusan kedelai yang aku masukan ke dalam botol. Tak lupa aku menambahkan air dan gula ke dalamnya. Semoga saja Elis baik-baik saja dan tidak mengalami gizi buruk atau semacamnya.
Para penduduk kampung mulai kasak-kusuk dan membicarakan tentang keanehan yang dialami oleh anak pertamaku itu. Ada yang bilang anakku gila karena tidak mampu menanggung beban setelah diperkosa dan dihamili bapak tirinya. Maksudku mantan bapak tirinya. Karena lelaki itu kini telah mendekam di tempat yang semestinya dia terima sebagai ganjaran dari kebejatannya. Ada juga yang bilang anakku disantet dan diganggu oleh jin penunggu kebun. Entah mana yang benar, aku tidak mau peduli. Yang jelas, aku ingin Saripah kembali seperti semula.
Dan banyaklah saran yang bermunculan dari mulut-mulut penduduk kampung tentang bagaimana supaya anakku bisa sembuh.
“Mungkin kamu bisa membawanya ke dukun di desa tetangga. Siapa tahu dia bisa sembuh dari kegilaannya.”
Hingga suatu hari, aku dibuat khawatir setengah mati karena Saripah belum juga pulang, padahal hari sudah mulai menggelap dan berganti malam pekat. Aku menunggu kepulangan Saripah di ambang pintu gubuk sembari sesekali menjulurkan leher ke arah jalan setapak yang membentang. Tapi sayang sekali, Saripah tidak juga datang.
Dua hari setelahnya, Saripah bisa kembali ke rumah. Itu pun dengan diantar oleh orang-orang desa sebelah yang kebetulan mengenalnya. Seorang lelaki paruh baya bernama Jumain datang dengan dua orang temannya membawa Saripah di atas motor mereka.
“Bu, anak ibu kami temukan berkeliaran di desa sebelah. Maka dari itu saya membawanya ke sini,” ujar Jumain sembari menyuruh Saripah turun dari motor.
Saripah kembali pulang, masih dengan tawa dan tangis yang menyertai. Tapi selalu membawa rasa was-was yang selalu mengendap di hatiku karena dia bisa saja pergi kapan pun dia mau. Oleh karena itulah aku meminta Sardi pulang hanya untuk memberitahukan kepadanya apa yang telah terjadi pada kakak perempuannya tersebut.
**
“Sudahlah mak, tidak perlu khawatir berlebihan. Jika memang dia berkeliaran, itu tidak jadi soal,” ujar Sardi dengan sorot mata yang menggambarkan bahwa dia berusaha tabah menghadapi semua ini.
“Bagaimana mungkin Emak akan membiarkan dia berkeliaran. Sementara emak tidak akan pernah tahu apa yang dia makan, dimana dia akan tidur dan_” aku tidak mampu melanjutkan kata-kataku karena sudah lebih dulu disusul oleh isakan tertahan karena air mata yang berletupan di mataku.
“Mau bagaimana lagi? Memangnya emak tega memborgol Teh Saripah sehingga dia tidak akan pergi kemana-mana? Memangnya emak mau mengurung Teh Saripah?” tanya anak lelakiku itu. Tanya yang membuatku semakin serba salah dan dihadapkan pada dilemma kehidupan yang paling sulit aku hadapi. Sebagaimana pepatah bilang, ‘bagai makan buah simalakama, dimakan mati bapak, tidak dimakan mati emak’ itulah yang aku alami saat ini. Jika membiarkan Saripah berkeliaran, aku khawatir dengan keselamtannya. Dan dia tidak mungkin berkeliaran kecuali dengan dipasung, dirantai atau dikurung. Tapi itu jelas tidak manusiawi.