Sardi
Kisah kehidupanku dengan Sahab berlanjut tanpa hambatan apa pun. Kami berdua sama-sama menikmati kehidupan kami tanpa perlu khawatir dengan kecurigaan orang lain di luar sana. Orang-orang mungkin akan menganggap kami hanya dua orang lelaki yang kebetulan mengontrak rumah bareng. Tapi bagi kami berdua, kami bukan hanya teman ngontrak rumah, tapi juga pasangan yang melakukan hal apa pun sesuka kami layaknya pasangan kekasih.
Aku tidak lagi risih ketika Sahab semakin sering mengambil foto atau video kami berdua. Hingga pada satu hari yang paling mengerikan bencana itu datang.
Sore itu aku pulang dari tempat kerja dengan badan yang sangat letih. Sementara Sahab tidak berangkat kerja dengan alasan tak enak badan.
Ketika aku sampai di kontrakan, aku melihat ada motor lain yang tengah terparkir di halaman. Hm, mungkin ada teman Sahab yang berkunjung. Aku melangkahkan kaki ke teras dan membuka pintu tanpa perlu mengucap salam. Disanalah aku melihat pemandangan yang paling membuatku jijik. Aku melihat Sahab dan lelaki asing tengah bergumul si sofa. Apa? Jijik katamu, Sardi? Bukankah kau juga sering melakukan prilaku tercela itu bersama Sahab? Lalu apa bedanya antara kamu, Sahab dan lelaki itu? Hatiku mulai berteriak sekaligus mengejek dalam waktu yang bersamaan.
“Apa-apaan?!” seruku dengan suara yang mengindikasikan rasa muak.
“Sar! Kupikir kamu bakal pulang malam,” jawab Sahab dengan wajah tanpa dosa.
“Siapa dia?” tanyaku masih dengan nada berang.
“Oh, dia partnerku juga, Namanya Andi. Atau kita mau coba treesome[1]?” ujarnya dengan kedipan mata.
Tiba-tiba saja kepalaku pening. Jadi, kini aku sudah mengerti bahwa pasangan Sahab tidak hanya aku saja, tapi juga ada lelaki lain yang sering bermain dengannya. Lelaki bernama Andi itu adalah pasangan Sahab selain diriku. Atau ada lelaki lainnya selain Andi? Mungkin ada lusinan lelaki di luar sana yang pernah tidur dengan Sahab. Aku selama ini tidak pernah bertanya kepadanya tentang berapa lelaki yang pernah dia tiduri karena kupikir apa untungnya aku menanyakan hal tak penting seperti itu.
Rasa pening di kepalaku semakin menjadi.
“Berani-beraninya kau…. Aku pikir kamu itu setia,” lirihku dengan mata yang berkaca-kaca.
Lelaki yang bernama Andi itu buru-buru memakai baju yang berserakan di lantai dengan wajah yang memerah. Dia hampir lupa memakai celana dalamnya yang berwarna merah karena dilanda grogi.
“Eh, Hab, sorry. Aku pergi dulu ya,” ujarnya sembari berlalu dari ruang tamu. Sempat kulihat kaki kanannya tersandung sepatu nike-ku yang berserak di depan pintu. Mampus!
Tak lama kemudian aku mendengar deru motornya yang perlahan sayup menjauh.
Aku menghela napas panjang dan menatap Sahab dengan tatapan yang tajam, meminta penjelasan tentang apa yang baru saja aku lihat.
“Bisa kau jelaskan, Hab? Kenapa kau melakukan ini kepadaku?”
Sahab tertawa. Dia menyisir rambut lurusnya dengan jemari tangan kanannya dan menyenderkan tubuhnya di sofa tanpa perlu repot-repot mengenakan baju.“Kenapa Sar? Jadi kamu pikir hubungan kita itu seperti kisah cinta romeo Juliet, begitu?”