Sardi
Sejak digertak oleh kang Solhan dan teman-temannya, Sahab tidak lagi berani mengganggu kehidupanku. Dia sudah tidak lagi menggangguku lewat chat atau panggilan telpon. Bahkan dia sudah tidak lagi mencariku atau menemuiku ke kontrakan Ridwan. Sepertinya lelaki itu sudah melupakanku. Dan itu satu keberuntungan besar untukku. Aku pun bisa menjalani hari-hariku dengan perasaan tenang dan lebih fokus untuk memperbaiki diriku sendiri dari masa lalu yang gelap dan suram.
Aku menjalani hari-hariku dengan normal di tempat kerja. Meski aku harus bertemu Sahab di tempat kerja, tapi itu tidak menjadi soal yang berarti bagiku. Sahab bahkan menganggapku seperti tidak ada. Kami sama-sama bekerja di gudang dan kami tak lagi bertegur sapa satu sama lain.
Tapi lama-lama aku merasa jengah. Aku berharap bisa pindah tempat kerja dimana aku bisa mendapatkan suasana baru yang lebih kondusif dan menenangkan hati. Rupanya Tuhan mengabulkan harapanku itu. Tak berapa lama, kurang lebih sebulan setelah kepindahanku dari kontrakan Sahab, Ridwan datang membawa satu lowongan pekerjaan untukku. Dia menemukan lowongan pekerjaan itu dari broadcast akun telegram.
“Tapi pekerjaan yang satu ini agak berbeda, Sar.”
“Maksudnya?”
“Ini lowongan kerja untuk merawat orang gila,” terang Ridwan sembari membaca kembali broadcastnya. Kemudian menyodorkan ponselnya ke arahku. “Baca sendiri.”
Dibutuhkan tenaga perawat untuk mengurus orang-orang sakit jiwa di yayasan Peduli kasih. Lelaki dengan rentang usia 20-50 tahun, memiliki dedikasi dan tantangan. Tidak ada syarat minimum pendidikan. Yang dipentingkan adalah dedikasi dan tanggungjawab. Gaji mulai dari 2 jt.
“Bagaimana, Sar? Berminat nggak?” tanya Ridwan membuyarkan lamunanku.
“Aku bisa nggak ya ngurusin orang-orang gila,” lirihku dengan tercenung.
“Jelas bisa, Sar. Ingat nggak sih kalo kakak perempuan kamu juga gila.”
“Bukan gila, sakit,” aku menyambar pernyataan Ridwan dengan cepat. Yah, meskipun Teh Ipah gila, tapi aku tak rela jika orang menyebutnya gila.
“Iya, sakit. Kakak perempuanmu itu sakit juga, nah, kamu juga bisa sekalian masukin kakak kamu ke yayasan itu, biar kamu yang urus. Hitung-hitung nyari pengalaman bergaul dengan orang sakit jiwa. Asal jangan ketularan sakit jiwa aja,” seloroh Ridwan yang aku balas dengan tonjokan ringan di bahu kanannya.
***
Perlu waktu kurang lebih dua minggu bagiku untuk meyakinkan hatiku sendiri dengan keputusan yang aku buat. Dan hari ini aku bertekad untuk keluar dari toko swalayan tempat aku bekerja. Aku sudah memberikan surat resignku ke suvervisor toko swalayan tersebut, dan dia menerima keputusanku untuk mengundurkan diri. Hari ini adalah hari terakhirku bekerja di toko swalayan tersebut. Ada perasaan aneh yang bergelenyar di hatiku. Cobalah kau bayangkan, bagaimana perasaanmu ketika kamu tahu bahwa itu adalah hari terakhirmu bekerja di sebuah tempat yang sudah begitu lekat membersamai hari-harimu.
“Ada kabar kamu mau keluar,” tiba-tiba saja Sahab mendekatiku dan duduk di sampingku di sela-sela jam makan siang.