Sumi
Ibu mana yang tega merantai anaknya dan memisahkannya dari rumah? Ibu mana yang tega membiarkan anaknya diperlakukan seperti anjing yang diikat supaya tidak kabur kemana-mana? Semua ibu tidak akan pernah rela melakukannya. Tapi aku tidak memiliki cara lain selain membuat Saripah tetap terikat sehingga dia tidak pergi kemana-mana dan tak terurus. Bagaimana jika ada lelaki jahat yang memperkosanya? Bagaimana jika dia ditabrak kendaraan bermotor, sakit atau apa pun itu kemungkinan terburuk yang bakal terjadi. Jadi, merantainya adalah satu pilihan yang tepat. Jangan kau bilang aku ibu yang kejam. Aku merantai dan mengurung anakku karena aku menyayanginya.
Tapi suatu hari anak lelakiku, Sardi datang membawa satu harapan yang besar. “Emak tidak perlu lagi mengurung Teh Saripah seperti seekor anjing.”
“Mau bagaimana lagi? Hanya itu yang bisa Emak lakukan.”
“Kenapa Emak tidak membawa Teh Saripah ke rumah sakit jiwa?”
“Rumah sakit jiwa?”
“Ya. Disana akan ada dokter, perawat dan psikiater yang merawat dan memantau perkembangan Teh Saripah, Mak.”
“Tapi yang namanya rumah sakit tentu membutuhkan biaya untuk perawatannya,” elakku. Aku tidak punya uang untuk membayar dokter, perawat dan fasilitas rumah sakit lainnya.
“Teh Ipah bisa dirawat di yayasan penampungan orang yang memiliki gangguan jiwa tanpa ditarik biaya seperser pun, Mak,” jelas Sardi dengan sangat yakin.
“Bagaimana bisa?” tanyaku penasaran.
“Sebenarnya ini bukan rumah sakit jiwa, Mak. Ini rumah khusus yang digunakan untuk menampung orang-orang sakit jiwa. Semacam yayasan yang dikelola oleh para aktifis kemanusiaan.”
“Gratis?”
“Tentu saja gratis. Karena aku sekarang bekerja disana,” jawab Sardi dengan senyuman lebar.
“Hah? Kamu kerja disana? Jadi kamu sudah tidak bekerja di toko swalayan itu?” kali ini anak lelakiku membawa kejutan dengan kepindahannya dari tempat kerja yang lama. Aku sempat khawatir, apakah dia digaji di tempat yang penuh dengan orang gila itu?
“Iya Mak. Sardi bosan kerja di toko swalayan. Ya sudah, akhirnya Sardi menerima tawaran teman yang kerja di rumah sakit jiwa. Karena Sardi ingat Teh Saripah, akhirnya Sardi menyanggupi tawaran tersebut, dengan harapan Sardi juga bisa merawat Teh Saripah disana,” anakku menjelaskan dengan senyuman penuh harapan. “Jangan khawatir Mak, gajinya hampir sama dengan gaji saya di toko swalayan, meski agak kecil sedikit.”
Akhirnya, dua hari setelah itu aku melepaskan rantai yang membatasi gerak Saripah dengan perasaan haru yang membuncah. Kemudian aku memeluk Saripah. Sayangnya, dia tidak bisa diam. Bukannya membalas pelukanku, anak pertamaku itu menggigit telingaku sampai aku menjerit-jerit kesakitan karenanya. Ah sudahlah, yang penting sekarang ada harapan yang lebih baik.
“Kita mau membawanya pakai apa?” tanyaku. Timbul kekhawatiran baru yang muncul. Aku tidak bisa membayangkan membawa anakku yang sakit jiwa itu di bus.
“Tentu saja pakai bus, mak.”
“Tidak Sar! Memangnya kamu mau Saripah tiba-tiba ngamuk di bus atau…”
“Mak, tidak mungkin dia ngamuk.”
“Kamu tidak tahu adatnya, Sar. Kakak perempuanmu ini akan menjerit-jerit ketika dia mendengar kebisingan di sekitarnya. Dia juga tidak suka ketika melihat banyak orang. Kau bayangkan, kita duduk di bus dan kakakmu ini menjerit-jerit karena melihat banyak orang disekitarnya.”
“Kita membiusnya. Minta obat bius ke dokter desa.”
“Tidak! Jika sudah dibius, memangnya kamu mau membopong kakakmu ini seperti mayat. Sopir, kondektur dan penumpang pasti akan menolak keberadaan kita. Mereka akan menganggap kita orang gila yang membawa mayat di bus alih-alih di mobil ambulance.”
“Kasih bodrex saja mak,” tiba-tiba Latipah menyeletuk.
Aku dan Sardi memutar kepala dan menatap Latipah dengan kerutan di dahi. “Bodrex?’
“Iya. Itu bisa membuat orang ngantuk dan tertidur.”
Akhirnya, kami membeli beberapa butir bodrex dan memaksa Saripah untuk meminumnya beberapa saat sebelum kami pergi ke kota. Ah, sungguh konyol memang. Apa pun kami lakukan demi membawanya dari rumah menuju rumah baru bernama ‘rumah orang sakit jiwa’.
Sejak pagi hari, aku memandikan Saripah, menggosoknya dengan spons dan sabun banyak-banyak, setelah itu aku mendandaninya dengan pakaian terbaik, dan membuntal semua baju-bajunya dan memasukannya ke dalam koper yang dibawa Sardi.
“Teh Saripah tampak cantik. Dia sepintas tidak seperti orang gila,” komentar Sardi.
“Tentu saja. Orang kemudian akan mengetahuinya setelah dia mulai tertawa dan berceloteh sendiri,” balasku.
Setelah selesai, aku, dan Sardi pun berjalan beriringan dengan menuntun Saripah menuju pinggir jalan. Disana sudah menunggu dua tukang ojek yang siap-siap membawa kami ke terminal desa dimana bus biasa mangkal untuk membawa penumpang ke kota.
“Mak, saya tak mau bawa Ipah!” seru seorang tukang ojek yang tentu saja tahu tentang Saripah yang sudah sakit jiwa.
“Memangnya kenapa?” tanyaku sewot.
“Nanti ketika saya jalan, khawatirnya si Ipah bertingkah yang aneh-aneh. Bagaimana jika dia mengigit saya.”
“Tidak mungkin! Memangnya dia monyet bisa sembarangan mengigit orang?” bantahku.