LELAKI GEMULAI

Husni Magz
Chapter #25

Cinta Kiara

Sardi

Rutinitasku di rumah orang sakit jiwa hanyalah merawat mereka dengan penuh kasih dan cinta. Tapi aku tidak menasbihkan diriku sebagai seorang yang memiliki banyak kecakapan dalam mengurus mereka. Aku hanya memastikan mereka baik-baik saja dengan menjaga pintu gerbang, dan mengawasi mereka untuk tidak melakukan hal-hal konyol. Terkadang Bu Sumarni memintaku untuk mengajak para orang sakit jiwa itu untuk senam atau sekedar lari-lari memutari lapangan. Bu Sumarni bilang, meskipun mereka sakit jiwa, mereka harus tetap sehat dengan makan makanan yang layak dan olahraga.

Bu Sumarni memang memiliki hati yang seputih kapas. Dia baik hati tidak hanya kepada orang normal yang waras. Tapi dia juga memiliki tekad untuk memberi kehidupan yang layak untuk orang yang tak lagi waras dengan semua kisah hidup mereka yang sampai sekarang aku tidak pernah mengetahuinya. Bu Sumarni memberikan mereka tempat yang layak, baju yang bersih dan selalu dicuci dengan rutin oleh Kiara dan Salsa, dua staff yang sudah lama bekerja disini, dan tentu saja makan yang cukup dan bergizi.

Menurut cerita bu Sumarni –yang dia dapatkan dari orang-orang yang menitipkan anggota keluarga mereka yang sudah tidak waras- ada banyak alasan orang-orang itu mengalami gangguan jiwa. Diantara mereka ada Neni, yang sakit jiwa selepas diceraikan oleh suaminya yang konglomerat setelah ketahuan suaminya selingkuh dengan sekretarisnya. Ada juga Rumba yang sakit jiwa karena ditolak cintanya oleh sang pujaan hati yang telah dia cintai semenjak usia remaja dan cerita-cerita lainnya.

Terkadang Sardi berpikir, bagaimana mungkin hanya karena semua itu mereka menjadi gila dan hilang ingatan? Pertanyaan itu pernah dia utarakan kepada Bu Sumarni. Perempuan paruh baya itu menjawabnya, “Setiap orang itu punya masalah masing-masing yang tidak pernah kita pahami. Diantara mereka ada yang rentan karena memiliki jiwa dan psikis yang lemah sehingga mudah depresi. Dan inilah bibit dari semua ketidakselarasan dalam jiwa dan pikiran mereka. Karena mereka tidak kuat menanggungnya.”

Hm, barangkali apa yang terjadi pada Teh Ipah juga sama sebagaimana perspektif bu Sumarni. Kakak perempuanku itu menjadi gila karena tidak kuat menanggung aib dan trauma setelah dinodai oleh bapak tirinya sendiri.

Beruntung aku bekerja di tempat ini dan sekaligus bisa membawa kakak perempuanku kesini sehingga aku bisa merawat dan memantaunya. Jika aku bisa merawat orang lain yang mengalami gangguan jiwa, maka sudah tentu Teh Ipah lebih berhak untuk mendapatkan perhatianku.

**

Di tempat yang baru ini aku sangat dekat dengan Kiara. Dia seorang gadis ceria yang selalu tersenyum sehingga lesung pipit itu selalu nangkring di kedua belah pipinya. Aku menganggapnya sebagai seorang sahabat sekaligus partner kerja yang mengagumkan. Tapi pandangan itu berubah ketika suatu hari Kak Salsa memberitahukanku satu hal yang tidak pernah aku duga sebelumnya.

“Kiara itu sebenarnya suka sama kamu, Sar,” ujar Kak Salsa dengan senyum penuh arti sembari memasukan baju-baju kotor yang aku ambil dari setiap kamar ke dalam mesin cuci.

“Ah, itu mah prasangka Kak Salsa saja,” elakku. Aku hanya merasa tidak mungkin Kiara menyukaiku dan aku tidak siap mencintai gadis mana pun hanya karena pengalaman buruk di masa lalu bersama Hadi dan Sahab. Aku tidak pantas dicintai makhluk bernama wanita dengan masa lalu tersebut.

“Ini bukan prasangka, ini nyata.” Kak Salsa mulai menaburkan deterjen bubuk, menutup mesin cuci dan menekan tombol.

“Buktinya?”

“Buktinya dia selalu mencuri pandang ketika ngobrol atau makan bareng. Aku jauh lebih tahu soal jatuh cinta.”

“Ah, masa?”

“Serius, Sar. Aku juga berani ngomong kayak gini karena si Kiara curhat sama aku. Kemarin dia blak-blakan kalau dia suka sama kamu. Katanya, kamu itu baik, shaleh dan memiliki semua kriteria yang dia inginkan.”

Wajahku merah padam karena malu. Seumur hidupku aku belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Aku juga belum pernah ditaksir atau ditembak seorang cewek. Maksudku, tidak pernah ada seorang perempuan yang dengan serius mengungkapan rasa cintanya kepadaku, begitu pun sebaliknya.

“Kalau menurut aku sih, Sar, kalian berdua itu cocok. Aku dukung deh kalau kalian serius jadian,” lanjut Salsa dengan kedipan mata.

“Ah, mbak bisa aja.”

“Kamu kan lelaki, Sar. Harusnya kamu itu peka dan bisa mengerti apa yang dirasakan Kiara.”

“Maksud mbak?”

“Selama ini kan Kiara menunjukan tanda-tanda rasa suka sama kamu. Dia itu sebenarnya sangat ingin mengungkapkan perasaan dia. Tapi dia malu. Nah, kamu sebagai lelaki harusnya bisa mengerti ini. Ungkapkan rasa suka kamu sama Kiara jika kamu juga menyimpan perasaan yang sama.”

“Kalau nggak?

“Kalau nggak, ya setidaknya jangan sia-siakan kesempatan buat dapet wanita sebaik Kiara. Masa iya kamu mau menolak cinta dari gadis secantik dan sebaik Kiara.”

“Mbak, dipanggil sama Ibu!” tiba-tiba saja Kiara muncul dari pintu samping. Serta merta Salsa ‘tutup mulut’ dan menatapku dengan penuh arti, seakan mengatakan ‘segera-ungkapkan-perasaanmu-dan-jangan-menolaknya.’

“Ada apa, ibu memanggil aku, Ki?” yang dimaksud ibu disini adalah Bu Sumarni, kami biasa menyebutnya ‘ibu’.

“Katanya ada wartawan yang ingin ditemani, ibu sedang sibuk, jadi mbak yang disuruh menemani wartawan,” terang Kiara. Sekarang dia berdiri diantara kami berdua.

“Ya sudah, aku ke depan. tolong lanjutkan pekerjaanku, ya.”

“Siap mbak.”

Lihat selengkapnya