Sardi
Kertas itu tanpak agak lusuh da nada bekas-bekas lipatan di permukaannya. Aku juga melihat beberapa bekas air yang melunturkan beberapa garis tinta. Mungkinkan Kiara menulis surat ini dengan berurai air mata? Aku tahu surat ini ditujukan untuk diriku karena alasan itulah Salsa memberikannya kepadaku. Aku mulai membaca
‘Kak Sardi,
Aku bingung harus memulai dari mana untuk menulis surat ini. Aku juga tidak tahu apakah menulis surat ini sebagai satu hal yang bijaksana? Karena setiap kali aku melihat kakak, aku menemukan orang yang selama ini aku cari dalam hidupku. Pribadi kakak itu sama persis seperti almarhum kakak lelaki saya. Mas Jafar. Antara kak Sardi dengan mas Jafar memiliki kesamaan di banyak sisi. Dia pendiam, tapi sekaligus peduli. Dia memiliki hati yang lembut tapi juga tegas. Semua yang aku impikan dari sosok lelaki pelindung ada pada kakak. Kakak aku ibaratkan sebagai reinkarnasi dari Mas jafar yang selalu menyayangi aku. Sayangnya, beliau meninggal karena kecelakaan.
Kak, sejujurnya Kiara sangat sakit dan kecewa ketika kakak bilang bahwa kakak tidak ingin memiliki komitmen antara kita. Tapi mau apa lagi? Kakak bilang, aku berhak memiliki perasaan dan kakak tidak bisa melarangnya. Ingat kan, kak? Maka aku sadar bahwa aku juga tidak mungkin memaksa kakak untuk mencintaiku. Karena cinta bukan lahir dari paksaan.
Sayang sekali, tampaknya kisah cintaku harus berakhir dengan sebuah nama bernama ‘pemaksaan.’ Aku dijodohkan oleh emak dengan seorang pemuda desa yang masih kerabat jauh. Aku sebenarnya tidak mau dijodohkan. Tapi emak selalu memaksa. Kata emak, jika aku menikah dengan pemuda itu, maka taraf kehidupanku akan membaik. Emak juga bilang, dengan pernikahan itu akan menjadikan kehidupanku bahagia. Aku percaya saja. Meski aku tahu bahwa aku sakit karena harus berpisah dengan kakak.
Sehat selalu ya kak Sardi. Doaku selalu menyertaimu.
Aku melipat kertas tersebut dengan mata yang berkaca-kaca. Terpekur untuk beberapa saat lamanya. Aku mencoba merenungi apa yang terjadi antara diriku dan Kiara. Orang bilang, seseorang akan menyadari betapa berharganya seseorang dalam hidupnya setelah orang itu pergi meninggalkannya. Dan hal itu kini telah aku rasakan. Selama ini aku tidak peduli dan masa bodoh dengan semua perhatian Kiara yang aku anggap sebagai perhatian seorang teman. Ketika dia telah pergi, baru aku menyadari bahwa ada bagian diriku yang telah pergi bersama dirinya.
Tapi apa yang harus aku tangisi? Aku tidak perlu menangis hanya karena Kiara telah pergi. Bagaimana pun juga aku pernah tidak mempedulikan perhatiannya dan pernah ragu untuk bisa mencintainya dengan tulus sebagaimana yang diharapkan bagi setiap wanita dari lelaki sejati. Tapi, pepatah bilang ‘nasi sudah menjadi bubur’, aku tidak bisa mengubah semuanya.
Terlepas dari semua itu, aku sekarang menyadari bahwa masih ada sisa ‘kelelakian’ yang ada di dalam jiwaku. Aku ternyata masih bisa merasakan pedih karena ditinggalkan seseorang yang berharga dari makhluk bernama wanita.
Aku pun mulai menyibukan diriku dengan hal-hal bermanfaat alih-alih terus memikirkan tentang Kiara dan masa laluku. Aku menyibukan diriku merawat Teh Saripah dan semua orang sakit jiwa yang aku tangani di yayasan. Aku mendedikasikan semua waktuku disini untuk mereka, dan untuk emak, tentu saja. Aku secara rutin mengirimkan gajiku yang tidak seberapa untuk emak dan saudari-saudariku di kampung.
**
Hari itu emak membawa berita dari kampung bahwa bapak tengah sakit parah. Aku tidak peduli bapak sedang sakit, sekarat, atau bahkan mati. Aku tidak akan pernah memikirkannya dan tidak akan merepotkan diriku sendiri dengan mengkhawatirkannya.
“Bapakmu sakit. Sakit stroke,” jelas emak dengan nada khawatir.
“Memangnya kenapa kalau bapak sakit?” tanyaku dengan sinis. Aku heran kenapa emak tampak begitu khawatir dan sedih? Aku bisa merasakan kepedihan yang dirasakan emak dari getar suaranya. Bah! Bagaimana mungkin emak melupakan belasan tahun penuh kepedihan yang dia rasakan karena ditinggalkan dan diabaikan bapak? Bagaimana mungkin emak lupa bagaimana lelaki bejat itu meninggalkan emak demi seorang janda yang lebih cantik daripada emak? bagaimana mungkin emak lupa bahwa lelaki yang pernah menjadi bagian dari hidupnya itu tidak pernah peduli dengan darah dagingnya sendiri?
“Setidaknya dia masih tetap bapak kamu, Sar. Tidak ada istilah mantan bapak, sebejat apa pun bapakmu, dia tetap bapakmu.”
“Ya, dia memang bapakku, mak. Sampai-sampai aku menyesal kenapa aku menjadi anaknya.”
“Kenapa kau jadi menggugat takdir? Kalau tidak ada dia, kamu tidak aka nada di dunia ini.”
“Lebih baik aku tidak ada di dunia daripada punya bapak seperti dia.”
“Bagaimana dengan emak? apakah kamu juga menghakimi emak karena emak mau menikah dengan lelaki itu di masa lalu? Emak juga bisa menggugat takdir jika emak mau. Tapi emak tahu semua telah digariskan gusti Allah.”
Aku terdiam.
“Pulanglah, Sar. Lihat bapakmu. Setidaknya dia bisa melihat dirimu sebelum dia tutup usia,” bujuk emak.
“Aku tidak akan pernah pulang demi bapak. Tapi jika emak memintaku pulang demi emak, aku akan pulang.”
“Kalau begitu, pulanglah demi emak.”
“Tapi jangan paksa Sardi untuk menjenguk bapak.”
“Pulanglah, Sar. Emak merindukanmu.”