Di hari pemakaman Darma, banyak sekali yang datang untuk melayat, mengingat kedua orangtua Darma adalah selebriti populer. Tapi aku menunjukkan secara jelas perang dinginku dengan ayah. Aku menghindari mereka untuk sementara waktu karna emosiku yang masih tak bisa dibendung. Semua orang akan menyadari pertengkaran kecil kami karna kami selalu berjauhan dan saling membuang pandang.
Sepanjang prosesi pemakaman, kedua orangtua Darma terlihat sangat terpukul dan kehilangan. Ibu Darma terus menangis histeris sampai berkali-kali pingsan. Aku tahu ini semua terlambat bagi mereka, tapi dengan ini perasaan cinta mereka terlihat besar dan nyata.
Seketika aku teringat ayah. Aku tidak mau kematian menjadi jalan untuk kami bersatu dan saling mengerti. Jujur dan terbuka memang hal penting yang harus diprioritaskan dalam keluarga, sebelum penyesalan datang seperti Darma.
Aku juga harus menekan egoku sendiri untuk bisa kembali berbicara dengan ayah.
"Ayah.." aku mendekati mereka di barisan terbelakang para pelayat.
Dadi menarikku ke dalam pelukannya. Diikuti Diwan dan Badi yang mengelus rambutku lembut.
"Maafin Cello."
"Sayang, kami yang harus minta maaf. Kami tahu sekarang apa maksudmu." Bi menjawabku.
Jawaban yang kemudian dibuktikan dengan perubahan kehidupan kami. Ayah tidak pernah lagi bermusik di depanku. Mereka selalu fokus padaku. Bahkan mereka bisa menemaniku bermain, olahraga dan segala hal bersama lainnya.
Banyak penggemar dan media yang hendak menggali informasi, tapi ayah tidak pernah mau menghadap dan menyapa mereka. Sampai pada seminggu keadaan berjalan seperti ini, ayah yang berganti mengajakku memasuki dunianya.
"Hari ini ikut ayah menyapa media ya, Sayang" ajak Bi.
Aku menurut. Sebelumnya, aku tidak pernah mau ikut ayah untuk urusan pekerjaannya, baik itu konser, tour, jumpa fans, dan sebagainya. Aku selalu memilih menyendiri di rumah dan menyaksikan mereka melalui layar kaca. Padahal aku tahu mereka selalu ingin membawaku untuk itu. Dan kali ini... Jika mereka saja bisa menjadi apa yang kuinginkan, maka aku juga harus bisa menjadi yang mereka harapkan.
"Di sini kami mau memberi klarifikasi atas hilangnya Musisi Jalanan selama sepekan ini.. Kami mohon maaf sebesar-besarnya pada para penggemar, para media dan tim manajemen, karna kami telah membuat khawatir. Kemarin, kami memang ingin rehat sementara." Tutur Bi memulai konferensi.
"Namun, setelah seminggu berlalu akhirnya kami memutuskan.." Bi menggantungkan kalimatnya. Mereka saling lirik seolah tidak ada yang mau mengatakan apapun.
Para awak media mulai riuh dan meminta kepastian.
"Kami bubarkan Musisi Jalanan." Ucap Bi akhirnya. Ke-limanya berdiri, saling bergandengan dan lalu membungkuk tanda permohonan maaf.
Aku tidak percaya dengan perkataan Bi. Kata-kata keramat itu keluar juga pada akhirnya dari mulut sang pendiri Band. Padahal dulu, saat aku meminta mereka secara langsung untuk melepas pekerjaan ini, mereka selalu mengalihkan pembicaraan. Tapi sekarang, ketika aku telah melupakan keinginanku dan tengah berusaha menerima keadaan mereka, hal ini justru terjadi.
“Bi?” Aku bersuara begitu kami kembali bertemu.
“udah ya jangan dibahas lagi.” Badi lebih dulu menjawabku. Ia merangkulku dan membawaku menerjang kumpulan awak media yang masih menagih penjelasan ayah.
Entah mengapa, keputusan yang selama ini kuharapkan tiba-tiba menyayat hatiku dalam realitanya. Musik adalah dunia ayah, kehidupan ayah, bahkan sudah seperti itu sejak sebelum aku lahir. Lalu mereka mengorbankan separuh jiwanya demi menyenangkan aku. Ayah bahkan langsung merelakan semua peralatan band dan semua koleksi alat musik mereka untuk dijual dan dilelang. Sejujurnya, aku bisa melihat kesenduan yang terpancar di mata mereka, lalu mengapa mereka harus sampai sejauh ini?
"Ayah, kenapa harus dijual? Ayah kan bisa jadikan itu kenangan atau simpanan untuk dimainkan sebagai hobi." Tuturku
"Jika kita memutuskan sesuatu, maka tidak boleh setengah-setengah, sayang. Itulah kunci kesuksesan." Badi sebagai pria yang paling mencintai seni, mewakili jawaban ke-lima ayahku.
Musisi Jalanan pun menghilang dari kacamata publik. Mereka tak memberi alasan pasti baik kepada publik, ataupun padaku sebagai anaknya. Alhasil, setiap harinya dalam sekitar seminggu, banyak media memenuhi rumah kami hanya untuk meminta penjelasan ayah. Bahkan aku pun seringkali menjadi sasaran para wartawan, dikerumuni dan ditanyai berbagai hal. Aku sampai harus sembunyi-sembunyi saat keluar rumah seperti saat akan pergi ke sekolah. Banyak juga penggemar yang kecewa sampai mengirim kami banyak surat pos berisi ancaman dan permohonan mendalam agar Musisi Jalanan kembali hidup.
Tapi di samping itu, hari-hari terus berlalu dengan hangatnya kebersamaan kami. Setiap waktu, ayah selalu menemaniku belajar, bermain, dan berolahraga. Mereka menyerahkan sepenuh hidupnya untukku, bukan lagi kehadiran tanpa perhatian. Bahkan di usiaku yang sudah menginjak bangku SMA ini, aku selalu ditunggui ayah seperti waktu TK dulu. Ayah juga tidak pernah menuntutku sekolah dengan baik, karna mereka sendiri tahu minat dan bakatku bukan pada seni.
Sampai di suatu pagi...
"Kalian mau melamar kerja?" Tanyaku langsung begitu melihat mereka muncul dengan pakaian rapi dan formal. Ke-limanya mengenakan celana bahan, dan kemeja formal ketat yang membuat tubuh mereka tercetak keluar.
"Yup." Bi menjawabku.
"Lebih tepatnya, menerima tawaran pekerjaan." Aput menimpali.
Sesaat sebuah pedang terasa menusuk hatiku. Harusnya aku sadar sejak awal, meski mereka berhenti sebagai musisi, mereka tentu akan memiliki pekerjaan baru. Kebersamaan yang kuharapkan memang tak bisa selamanya kudapatkan. Mereka ayahku, bukan asisten atau bodyguardku. Dan aku tidak boleh lagi egois.
"Kenapa murung gitu?" Dadi mengusap rambutku lembut
"Engga kok. Aku seneng ayah bisa keluar dari keadaan ini." Sanggahku