Aku tidak menyangka akan hal ini. Aku benar-benar telah membuat ayah malu. Aku memang anak bodoh. Dari sekian banyak murid di sekolah ini, hanya aku yang tidak naik kelas.
Aku terpaku dalam posisiku yang berdiri tepat di depan pintu ruangan kepala sekolah dengan air mata terus berjatuhan membasahi wajahku. Permasalahanku sebenarnya adalah peraturan khusus sekolah Da Vinci yang langsung akan mengeluarkan murid yang tidak naik kelas. Jika aku keluar dari Da Vinci, berarti aku juga harus berpisah lagi dari ayah.
Berkaitan dengan pembicaraanku beberapa waktu lalu dengan kepala sekolah. Ternyata ia bukan berencana mengeluarkan ayah, melainkan mengeluarkan aku.
"Cello!" Badi memelukku.
Sedang Bi, Aput dan Diwan langsung masuk mendekati Dadi dan kepala sekolah. Menghentikan aksi Dadi yang mulai melewati batas.
"Kalian harus bisa bersikap profesional." Ucap kepala sekolah.
"Selama ini kami sudah bersikap seperti itu." Sanggah Bi.
"Bukannya kalian sendiri tahu kemampuan Cello?" Kepala sekolah itu kembalk berbicara. Pandangannya beralih padaku, seolah tengah menertawakanku.
"Ya, kami sangat tahu, termasuk saat Cello sedikit demi sedikit berkembang dan lebih baik." Jawab Aput
"Maaf, bukan saya tidak menghargai kalian sebagai ayahnya. Tapi kemampuan seni Cello jelas berbanding terbalik dengan kalian."
Keadaan hening seketika. Ayah maupun aku tentu sadar akan kenyataan ini. Bahkan perkembangan belajarku tak cukup membuatku sampai menjadi sehebat mereka.
"Dan Cello memang tidak pantas berada di Da Vinci."
Saat itu juga Dadi melayangkan satu pukulan telak ke wajah kepala sekolah. Diikuti Diwan yang juga tidak senang atas keadaan ini. Dua pukulan lepas mengenai wajah kepala sekolah itu.
"Maaf, tapi ada apa ini? Kalian bisa membicarakan masalah dengan kepala dingin" Guru-guru berdatangan untuk memperingati ayah.
"Sudahlah. Kali ini saja saya memaafkan kalian karna saya juga mengerti kekecewaan hati kalian." Kepala sekolah itu berbicara lagi dengan wajahnya yang mulai diwarnai lebam.
"Tapi saya terpaksa harus memberi kalian SP 1" lanjutnya.
"Oh tidak perlu repot-repot. Kami yang akan mengundurkan diri dari pekerjaan ini." Bi sebagai pembicara dari ayah-ayahku langsung memutuskan dengan tegas.
Kami pun melangkah keluar dari ruangan kepala sekolah tersebut.
"Bimo, apa tidak bisa permasalahan ini dibicarakan sekali lagi dengan baik-baik?" Kepala sekolah masih sempat-sempatnya mengejar ayah. Ia bahkan berlutut di depan Bi dan terus memegangi tangan Bi.
"Jujur saja, kehadiran kalian di Da Vinci sangat berharga." Ia juga masih sempat-sempatnya memohon pada ayahku.
Jika kupikir lagi, memang benar. Kehadiran ayah membuat semua murid lebih rajin dan lebih baik lagi. Membuat nama Da Vinci semakin naik dan tersohor sebagai sekolah nomor satu di negara kami. Semua orang bahkan ingin mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah ini, tak peduli dengan kenaikan biaya sekolah yang kian melejit.
"Seharusnya kau tidak menghina Celloku seperti tadi." Bi berbicara dengan dingin.
"Kumohon dengan sangat. Kami akan menaikkan gaji kalian" Kepala sekolah kembali berbicara.
"Maaf, tapi Da Vinci sudah menjatuhkan harga diri kami, dan itu tidak bisa dimaafkan dengan uang." Ayah tetap pada pendiriannya.
Kami pun pergi dari sekolah itu dengan keadaan hati dan pikiran yang kacau. Sepanjang perjalanan, hening menyelimuti mobil kami.
"Ayah.. Maafkan Cello." Ucapku lemah, memberanikan diri bergitu kami tiba di villa.
Bi langsung memelukku dengan erat, diikuti ke-empat ayahku lainnya. Jika dideskripsikan, kami sudah seperti tokoh teletubies yang tengah berpelukan.
"Kamu tidak salah apa-apa." Bi mengusap pipiku yang basa dengan air mata. Berlainan dengan hal itu, Bi justru meneteskan air matanya.
"Kami tahu kau sudah berusaha kuat." Aput menimpali.
"Sebenarnya ini juga salahku. Beberapa waktu lalu, aku dipanggil ke ruangan kepala sekolah."