“Bangun putri tidur, Bangun!” teriakan ayah menggelegar di depan pintu kamarku seiring dengan ketukan pintu yang terus mengganggu. Aku sengaja mengunci kamar sejak semalam, menghindari gangguan tengah malam yang biasa terjadi di hari ini.
“Hm” gumamku. Aku beranjak membuka pintu dengan langkah gontai, setidaknya itulah cara untuk menghentikan kegaduhan yang mereka ciptakan.
“Selamat Ulangtahun gadis kecilku” mereka bergantian memeluk dan mencium pipiku.
"Ayo tiup lilinnya."
Kuusahan membuka mata untuk menghargai setiap usaha mereka. Tapi belum aku meniupnya, api di lilin tersebut padam, dan begitu berkali-kali.
"Ini gara-gara AC kamarmu." Mereka pun berhamburan masuk mencari keberadaan rimote AC untuk mematikannya.
Sedang aku memilih kembali naik ke atas kasur, berbaring dan mencari mimpiku sebelumnya.
"Hey ayo bangun. Sudah jam 5 subuh juga. Cepat tiup lilinnya dulu."
Aku pasrah menerima perlakuan mereka sambil menahan kantuk yang masih menghinggapiku, dengan mata yang bahkan masih terpejam juga. Mereka membangunkanku lebih awal dari jam biasa aku bangun. Mereka sengaja tidak tidur khusus di hari ini, hanya untuk menggangguku.
“Semoga ga nakal lagi, ga berantem lagi, ga buat masalah lagi.” Badi mengelus kepalaku, membuat kantuk justru terasa lebih kuat menyerangku.
Aku hanya menggeram menjawab ucapannya. Kantukku terlalu besar sampai tak memiliki kekuatan untuk bicara.
“Cello!” Aput menampar-nampar pelan kedua pipiku, tapi tetap tak membuatku sadar sepenuhnya. Ia juga menarikku untuk mengambil posisi duduk di atas kasur.
"Iya.. iya." Kubuka mataku dengan kedua tangan.
"Jangan lupa harapanmu."
"Semoga, ayahku yang tampan dan populer ini..... tidak sibuk-sibuk lagi kerja! Dan semoga perhatian penuh mereka tidak hanya terjadi di hari ini." Aku berdoa dengan suara nyaring, lalu meniup semua api yang menyala.
Aku kembali menjatuhkan tubuhku, dan meringkuk di atas kasur.
"Cello bangunlah, kasurmu penuh darah, apa yang terjadi?"
Seketika kesadaranku pulih. Kubuka mataku, kududukkan tubuhku. Langsung saja kuperiksa keadaan kasur putih yang tengah kududuki ini, dan benar.. putihnya seprai kini ternodai bercak mereh. Aku tahu apa yang terjadi, ini masa pubertasku.
"Aaaaa!!" Aku melompat dari atas kasur dan langsung berlari menuju kamar mandi. Selain malu pada ayah, aku juga merasa takut dengan pubertasku yang secara tiba-tiba datang.
“Cello?!” suara berisik lagi-lagi menggedor pintu kamar mandiku. Sedang aku berusaha menahan pintu dengan tubuhku.
Seperti yang telah kuceritakan sebelumnya, sosok ayah milikku berperan sangat posesif dan protektif di kehidupan. Tidak aneh jika sedikit saja hal terjadi padaku, maka mereka akan merasa khawatir berlebihan.
“Cello, kau tidak apa-apa?” Tanya suara serak Dadi mengintrupsi.
Aku diam tak menggubris mereka. Tak selang berapa lama, suara ribut itu berubah menjadi gelak tawa renyah. Mereka sudah pasti menyadari arti bercak di kasurku.
"Keluarlah sayang, itu bukan apa-apa, itu menstruasi pertamamu." Seruan Bi terdengar seolah menelanjangiku. Sangat memalukan. Mereka ayahku, tapi mereka harus melihat kejadian seperti ini.
"Kau butuh pembalut untuk menahannya. Cepat keluar, biar kami bantu." Badi menyuruhku lagi
Aku pun keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangku. Jalanku mengangkang karna lengket di sekitar pahaku menciptkan rasa tak nyaman. Kelima ayahku masih terduduk di atas kasur sambil memandangku jahil, mereka benar-benar membuatku malu.
Aku bergumam dengan wajah panas yang kini sudah memerah.
“Happy Birthday Cello-ku.” Diwan melemparkan bungkusan hitam ke arahku. Beruntung karena sebagai pujangga wanita, ia selalu memperhatikan kebutuhan dari sisi genderku.
Buru-buru aku kembali ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Tapi sialnya, aku bahkan tak mengerti cara penggunaan benda itu.
Aku kembali keluar kamar mandi menemukan ayah tengah membereskan permasalahan sepraiku yang kotor.
"Kenapa lagi?"
"Aku gangerti cara pakainya."
Untuk melakukan hal ini saja, kami harus menggunakan jasa internet untuk membantu.
Di depan cermin, kupandangi gadis kecil yang semakin bertumbuh ini, rambutnya mulai memanjang menutupi bahu, tubuhnya mulai melebar dan meninggi sampai seragam sekolah saja tak lagi muat di tubuhnya.
Aku pun kembali menemui ke-lima ayahku dengan handuk yang masih melilit di pinggangku.
"Kenapa lagi?" Tanya Aput jengah.
"Rokku gamuat." Keluhku.
"Yasudah, pakai saja celana. Nanti beli rok baru di sekolah." Putus Badi