Aroma obat-obatan menyeruak di indera penciumanku. Kikerjapkan mataku secara perlahan, sangat rapat. Suasana putih bersih lalu memenuhi pandanganku, apalagi kalau bukan rumah sakit, tempat yang paling kubenci.
Rasa takut memeluk diriku membuat pompa jantung berdentum cepat. Dengan satu gerakan, kulepas infus yang menusuk pergelangan tanganku. Aku pun melompat dari ranjang dan berlari sempoyongan keluar ruangan. Banyak mata menatapku dengan khawatir, bahkan beberapa suster menanyakan keperluanku. Aku tak menjawab dan memilih terus melangkah menjauhi keramaian.
Melihat kursi roda, kasur dorong, pasien dan suster malah menambah kepanikan di hatiku. Aku memang sangat takut dengan rumah sakit. Sejak kecil aku tak pernah mau masuk tempat ini, sekalipun untuk menjenguk ayahku sendiri.
Aku terus berhambur mencari jalan keluar, sampai tubuhku tiba-tiba melayang ke udara. Aput memanggulku di bahunya, membawaku kembali ke dalam ruangan sebelumnya.
“Kenapa sih nakal banget jadi anak?” ia pun menjatuhkan tubuhku ke atas kasur.
Aku mengercutkan bibir sembari menangis.
“Jangan nangis, udah besar juga.” Aput berbicara tegas. Sedang aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan. Melanjutkan tangis sampai tubuhku bergetar kecil.
"Sudah sudah, ayah di sini." Aput melembut dan memelukku, memberi sedikit saja ketenangan.
Saat itulah pintu ruangan kembali terbuka, menampakkan keempat ayahku lainnya.
“Mau kabur kemana?” Badi mendekat dan mengelus rambutku.
“Pulang. Cello ga suka di rumah sakit.” tuturku di sela isakan.
“Kamu udah tidur selama 2 hari, di sini.” Bisik Bi tepat di telingaku.
Aku melongo tak mempercayai ucapannya, tapi mereka sama sekali tak menampilkan kebohongan di wajahnya.
"Pulang!” Rengekku lagi
Mendengar itu, Dadi langsung menggendongku layaknya anak kecil.
"Kita pulang sekarang." Tuturnya.
"Hey jangan se-enaknya, dia masih harus dirawat di rumah sakit." Cegat Bi.
"Kamu ga liat dia ketakutan gini?" Dadi terus membelaku
"Sudah sudah, kita pindahkan saja perawatannya di rumah. Biar kuurus administrasinya."
Badi menengahi dan berlalu keluar ruangan mengurus apa yang perlu ia selesaikan.
Setelah beberapa saat, ayah akhirnya membawaku pulang. Aku tak lepas dari gendongan Dadi meski sudah memasuki mobil. Sebagai anak tunggal dengan lima orang ayah sekaligus tentulah menjadikanku sebagai anak manja.
"Cello, jangan seperti ini lagi ya. Kau membuat kami khawatir dan takut" Tutur Diwan yang kini duduk di sampingku.
"Apa yang terjadi?" Tanyaku tak mengerti
"Kau jatuh pingsan dan tak sadarkan diri selama 2 hari setelah keluar dengan Dadimu itu." Bi berbicara seolah sedang menyindir Dadi.
"Itu juga karna tingkahmu yang berlebihan sampai menggebrak meja." Balas Dadi.
Putaran memori terakhir di hidupku kembali berputar. Aku mulai ingat semuanya, khususnya mengenai Steff dan Reshy.
“Ayah, temui aku dengan Steff dan Reshy, kumohon.” pintaku
Tapi ke-lima pria itu hanya diam memalingkan pandangan mereka satu sama lain.
“Ayah?” Aku menarik-narik kaos Dadi, pria yang masih menjadi kursi pangku untukku.
"Cello, kamu ga bisa lagi nemuin mereka.” Bi menjawabku
"Kumohon sekali lagi saja. Sebelum mereka pergi."
"Mereka sudah pergi sejak kamu masuk rumah sakit." Badi menjelaskan kebenarannya.
Air mataku berjatuhan tanpa bisa kubendung lagi. Dadi memelukku erat, sedang yang lainnya hanya mengelus rambut dan tanganku untuk memberi ketenangan. Sepanjang perjalanan, aku jatuh dalam tangis. Dadaku sesak, mataku bengkak dan sulit dibuka.
“Cello, jangan seperti ini terus.” Badi angkat bicara, tapi tak berhasil membuatku berhenti menangis.
"Sudahlah, kami di sini, kami bisa menggantikan mereka." Bi membujukku
Benar mereka di sini. Mereka ada untukku, mengurusku, menghiburku, menggantikan posisi Steff dan Reshy. Tapi hal ini tentu takkan berlangsung lama. Saat kondisiku kembali normal, saat keperluan sekolah baruku terselesaikan, mereka akan kembali fokus pada musik mereka. Itulah alasanku begitu terpuruk dengan kehilangan Steff dan Reshy.
Selama hampir seminggu, aku tidak mau makan ataupun keluar rumah, kegiatanku selama itu hanyalah menangis dan menangis.
"Cello, berhentilah seperti ini. Kau bisa menemukan teman baru di sekolah barumu." Tutur Badi. Aku tak menghiraukannya.