Suara nyaring alarm ponsel menusuk pendengaranku. Dengan malas, aku mematikannya.
"Jam setengah 7?" Mataku membelalak melihat angka yang terpampang di layar ponsel. Perjalanan dari villa ke sekolahku bisa menghabiskan 20 menit, sedang jam masuk sekolah adalah pukul 7 tepat. Buru-buru kubersihkan diri di kamar mandi, sekadar mencuci muka dan menggosok gigi.
"Ayah!" Seruku. Kucari ke setiap kamar, tapi kehadiran mereka tak terlihat. Sampai kemudian kutemui mereka di ruang studio musik yang kedap suara. Ke-limanya tertidur dengan kondisi tak tentu arah di atas karpet. Sangat kacau, banyak kertas coretan lirik lagu dan tangga nada. Ada beberapa botol minuman keras yang sudah kosong, dilengkapi sampah-sampah rokok di sekitarnya.
"Ayah!" Seruku lagi.
Kelimanya terbangun dengan terkejut, sampai saling tubruk satu sama lain.
"Apa sih Cello?" Aput mengeluh karna gangguan yang kubuat.
"Siapa yang anter aku? ini udah jam 7 kurang 15 menit."
Dadi menjadi pria paling sigap yang hendak mengantarku. Sejujurnya aku malas jika harus membawanya ke lingkunganku lagi. Dadi adalah vokalis band mereka, pria paling berkarisma, tampan dan populer. Kesal saja ketika harus terus melihatnya dikerumuni banyak wanita sebayaku.
"Ayo cepat." Dadi menuntunku menuju sebuah motor trail asing.
"Ini motor siapa?" Tanyaku bingung
"Pak Dadang penjaga villa kita, biarin pinjem aja, biar cepet."
Untuk pertama kalinya selama 15 tahun, aku bisa menaiki sebuah motor. Ayah tak pernah sama sekali menyentuh ataupun membeli motor. Alasannya sangat klasik, karna membahayakan jiwa katanya. Alhasil aku pun hanya mampu menyaksikan manfaat penggunaan motor secara positif melalui turnamen Moto GP di televisi.
Sensasi udara yang menerpa wajaku terasa sejuk. Meski dudukku tak bisa bersandar, aku justru berada dalam kondisi lebih baik karna dapat memeluk Dadi sepanjang waktu. Perjalanan yang berlangsung cepat, sesekali membuat jantungku berdegup karna rasa takut. Namun kondisi seperti itu justru menantangku.
Akhirnya kami tiba di sekolah sekitar pukul 07.15. Meski tidak begitu terlambat, tetap saja kedatanganku melebihi waktu bunyi bel sekolah. Parahnya, hari ini adalah hari perkenalan sekolah baru oleh para senior.
Aku pun segera turun dan berlari menuju gerbang sekolah. Tatapan menusuk dari dua orang wanita di hadapanku, membuatku sadar akan hukuman yang hendak menimpa.
"Cello, helmnya!" Dadi menghampiriku. Refleks, kupegang kepalaku yang masih terlindung batok pelindung itu. Cepat kulepas dan kukembalikan pada Dadi, berharap ia segera pulang dan menghindar dari kedua wanita di hadapanku. Namun terlambat.
"Kak Akhadi!" Kedua wanita yang tadi memelototiku langsung menunjukkan wajah sumringah dan ceria. Mereka memeluk Dadi dan meminta foto dengannya. Lagi-lagi, kejadian seperti ini harus kutemui meski di kota berbeda.
"Aku titip anakku Cello ya, jangan marahi dia." Dadi mengerling membuat kedua wanita itu terhipnotis oleh pesonanya. Mereka pun mengangguk menuruti semua perkataan Dadi. Pesonanya yang begitu kuat bahkan berhasil membuat kedua wanita itu mematung memperhatikan jejak kepergian Dadi secara terus-menerus.
Perlahan kubalikkan badanku untuk lari dari kedua wanita itu. Tapi sebuah tubuh tegap dan tinggi menghalangiku. Aku mendongak mendapati seorang pria berambut sedikit gondrong tengah menatapku dengan garang.
"Woyy." Pria itu memanggil kedua wanita tadi.
"Ah, pak waketu, kenapa?" Dengan polosnya kedua wanita itu berbicara.
"Bukannya tugas kalian menjaga gerbang dan menghukum siswa baru yang terlambat?" Pria itu menyindirku
"Ini Cello yang sedang hangat dibicarakan seisi sekolah itu, anaknya para musisi jalanan. Tadi juga ka Akhadi sudah ngejelasin alasan dia terlambat kok." Kedua wanita itu merangkulku, memberi pembelaan yang sama sekali tak kubutuhkan.
"Oh jadi ini yang namanya Cello. Hai, aku Rizal, wakil ketua osis di Da Vinci." Pria itu mengulurkan tangannya padaku, tapi aku tak berniat membalasnya.
"Ah iya, kalau begitu kita masuk, bagaimanapun kau terlambat dan harus dihukum. Tapi aku jamin hukumannya ga akan berat."
Pria itu lantas mengambil tanganku dan menuntunnya memasuki lingkungan sekolah. Aku ditarik terus menuju sisi depan dari kumpulan murid baru. Di sana sudah berdiri 2 orang pria yang juga hendak dihukum karna keterlambatannya. Salah satu di antara mereka adalah pria yang pernah kutemui di kantin sekolah tempo lalu. Ternyata ia bukanlah kaka kelasku.
Semua mata terfokus padaku seolah aku ini barang lelang yang paling menarik. Di antara mereka juga terdengar bisikan kagum atas kehadiranku.
Seorang pria berjalan mendekat ke arah kami yang terlambat. Ia berdiri tepat di hadapanku, dan memperhatikanku dengan seringaian yang mengganggu.
"Hallo, Violoncello. Saya Rian, ketua osis di sini. Suatu kehormatan bisa bertemu dan menjadi kaka kelasmu." Ia menyodorkan tangan kanannya ke arahku. Sedang aku tak sama sekali menghiraukan ucapannya, apalagi membalas jabatan tangannya.
“Baiklah, karena ini sekolah seni, saya akan hukum kalian dengan bernyanyi.” ia berbicara lagi setelah sadar akan penolakanku.
Hukuman dimulai dari pria di sisi kiriku. Pria itu menyanyikan lagu ayah dan mempersembahkannya untukku. Sangat menggelikan.